Pertama-tama, ijinkan aku memperkenalkan diriku yang ganteng ini. Orang suka menyebutku lampu merah.
Aku kurang suka dengan sebutan itu karena selain merah, aku juga
berwarna hijau dan kuning. Inilah keanehan pertama yang aku temukan dari
mahluk yang namanya manusia. Terkadang mereka ingin semua gampang dan
cepat. Sebenarnya nama lengkapku adalah lampu lalu lintas, memang tidak lebih keren dari lampu merah,
tapi itu lebih mewakili diriku. Kalau boleh jujur, aku kepengen
dipanggil dengan nama yang lebih keren kayak Robert atau Michael atau
yang lainnya. Tapi aku pesimis, mana ada manusia baik yang sudi
memberiku nama sebagus itu.
Aku memang tidak bisa
kemana-mana. Aku hanya bisa nongkrong di sudut lampu merah Pasar Kasang
bersama beberapa temanku yang berdiri di sudut lain. Pasar Kasang adalah
pasar tradisional yang tidak terlalu ramai. Pasar ini lebih kecil
dibandingkan dengan pasar Angsoduo yang lebih besar dan menjual barang
lebih murah. Aku mendengar fakta ini dari percakapan dua ibu-ibu yang
suatu hari berdiri di sampingku menunggu angkutan umum. Aku berdiri di
sisi jalan utama yang lebih luas dibandingkan teman-temanku. Jalan ini
dibagi dua sehingga kendaraan yang berlalu lalang tidak akan bertabrakan
kecuali ada pengendara yang mabuk dan tidak sadar melewati pembatas
tengah jalan yang setinggi mata kaki orang dewasa. Teman-temanku lebih
tidak beruntung dari pada aku. Temanku yang berdiri di sisi jalan menuju
daerah Talangsari selalu memasang muka masam. Jalan ini cukup kecil
sehingga kalau ada truk yang berhenti saat temanku menyalakan lampu
merah, kendaraan roda empat lain yang bisa langsung karena belok kiri
tidak akan bisa lewat dan membuat kemacetan kecil.
Sebenarnya,
sebagai benda mati ciptaan manusia, aku tidak punya kodrat untuk
mengeluh apa lagi marah dengan penciptaku. Tapi aku sudah tidak tahan
lagi. Begitu banyak hal yang membuat aku bingung dan bertanya-tanya, apa
sebenarnya tujuan manusia menciptakanku? Apakah hanya sekedar penghias
jalan biar berkesan kalau jalan itu kelihatan bagus karena aku dan
teman-temanku yang selalu berganti warna dalam tempo waktu tertentu?
Atau karena manusia berharap agar mereka mematuhi peraturan yang mereka
buat melalui kami? Agak bingung aku dengan pertanyaanku yang terakhir
ini. Tapi begitulah yang aku rasakan, aku memang bingung.
Aku
sangat mahfum bahwa fungsi utamaku diciptakan manusia adalah membantu
mereka terhindar dari tabrakan di persimpangan. Coba bayangkan jika ada
empat kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi dari empat arah yang
berbeda di saat yang bersamaan, apa yang terjadi? Dengan adanya aku dan
teman-temanku, tabrakan bisa dihindari. Di saat ketiga temanku
menyalakan lampu merah mereka agar para pengendara di jalan mereka
behenti, aku menyalakan lampu hijauku mempersilahkan pengendara di
jalanku untuk melaju. Jika malam tiba, kami bersama-sama menyalakan
lampu kuning kami agar pengendara berhati-hati. Kurang baik apa coba?
Walau kena panas dan hujan sepanjang tahun, aku tetap menjalankan
tugasku dengan baik dan ikhlas (mudah-mudahan mahluk seperti aku boleh
menggunakan kata terakhir ini). Kami sadar bahwa itulah tujuan
penciptaan kami.
Tapi, sudah sedemikian baiknya aku dan
teman-temanku, masih saja banyak manusia yang tidak memperdulikan
keberadaaan kami. Di persimpangan di tempat aku dipancang, hampir semua
tidak peduli dengan warna lampu yang aku nyalakan. Mau merah, mau hijau,
atau kuning, hampir semua pengendara tetap melaju dengan rasa tidak
berdosa. Hebatnya lagi, di saat aku menyalakan lampu merahku, pengendara
itu melirikpun tidak ke arahku. Tetap saja mereka meluncur dengan
kecepatan tinggi menerobos jalan tanpa ada rasa takut atau bersalah.
Banyak
kejadian aneh, lucu, dan mengerikan yang aku saksikan di persimpangan
tempat aku ditugaskan. Suatu ketika, ada seorang ibu-ibu berbadan besar
mengendarai sepeda motor bebeknya melaju di jalanku. Dalam hati aku
tersenyum geli, ibu itu berbadan cukup besar sehingga aku hampir tidak
bisa melihat motor bebek yang dikendarainya karena hampir tertutup
dengan tubuhnya yang mengenakan baju daster putih bermotif kembang
sepatu besar-besar berwarna merah. Aku sudah menyalakan lampu merahku,
tapi ibu itu tidak menoleh sedikitpun ke arahku dan tetap melaju dengan
kecepatan cukup tinggi. Aku mau berteriak mengingatkan ibu itu untuk
berhenti karena dari jalan sebelah kiri, temanku menyalakan lampu hijau
dan kendaraan-kendaraan melaju dengan kencangnya seperti baru start
balap motor dan mobil. Tapi aku diciptakan tidak dengan kemampuan untuk
berbicara. Si ibu ini entah bodoh atau tidak bisa berpikir (apakah sama
artinya?), melaju dengan tenangnya tanpa melihat begitu banyak
kendaraan yang meluncur dari arah kiri. Akhirnya yang aku takutkanpun
terjadi. Sebuah angkutan umum berwarna kuningpun menghantam sisi kiri si
ibu yang langsung terjatuh ke kanan persis di tengah jalan. Ibu itu
mendarat di jalan dengan posisi menghimpit motornya. Sontak suasana
persimpangan berubah kacau karena semua kendaraan berhenti terhalang
angkutan umum, si ibu, dan motornya yang memenuhi jalan. Sang sopir
angkutan umum segera keluar menghampiri si ibu yang sedang meringis
kesakitan di atas motornya dan meluncurlahlah kata-kata makian indah
dari bibirnya yang bergincu oranye: “Hei! Monyet! Dimana kau simpan
matamu? Di pantatmu ya? Badanku sebesar ini tidak bisa kau lihat?”. Si
sopirpun menjawab: “Lho? Justru ibu yang tidak melihat pakai mata,
jelas-jelas lampu lagi merah, ibu main terobos aja”, si sopir tidak mau
disalahkan. Aku mendukung si sopir walau sebenarnya aku tidak suka
dengan sopir angkutan umum karena kalau didata, merekalah yang paling
tidak peduli dengan keberadaan lampu merah, mereka menerobos lampu merah
sesukanya demi mendapatkan seorang penumpang yang belum tentu juga mau
naik ke mobil mereka. Si ibu tadi masih berusaha membela diri:
“Memangnya selama ini di persimpangan ini orang-orang pada peduli dengan
lampu merah? Mau merah kek, hijau kek, hitam kek, tetap saja kita semua
bisa melaju, asal tahu sama tahu saja, biar jangan saling tabrakan”.
Sampai disitu hatiku merasa panas. Ternyata memang keberadaanku tidak
pernah dianggap selama ini. Dengan gamblangnya si ibu itu mengatakan
kalau aku tidak ada fungsinya sama sekali dan dengan seenaknya dia
bilang aku punya lampu berwarna hitam. Hilang rasa kasihanku terhadap
ibu itu, hatiku terlanjur sakit dibuatnya. BERSAMBUNG (LT)
No comments:
Post a Comment