Hujan
beberapa hari ini terlalu banyak. Batangharipun tak mampu menampung
semua air hingga akhirnya membaginya dengan bagian bawah rumah –rumah
di sepanjang tepiannya. Biarlah, mungkin air itu merindu dendam dengan
rumah-rumah itu. Toh ia cuma mampir setahun sekali. Ia hanya sekedar
mengintip dari celah-celah lantai papan mencuri dengar celoteh
anak-anak yang berkeluh kesah tentang sulitnya ujian hari ini atau
omelan panjang pendek ibu-ibu rumah tangga tentang mahalnya harga bahan
makanan saat ini.
Namun
ternyata air tidak tega menyentuh rumah yang satu ini. Ia hanya
berhenti sampai di pinggir gerbang rumah berkepala naga yang kokoh nan
tua. Mereka berdua pasti sahabat lama, walau hanya berjumpa setahun
sekali atau lebih, air akan selalu kembali menghampiri si gerbang untuk
berbincang beberapa hari. Aku yakin, mereka berdua pasti sibuk
bercengkerama mengenang masa lalu sekitar dua ratus tahun yang lalu
ketika rumah milik si gerbang masih indah terjaga. Kemana
gerbang-gerbang lain? Mereka lebih memilih bersahabat dengan jalan-jalan
modern yang dibangun di depan sana. Mereka memilih membelakangi air,
menyisakan kakus dan dan kamar mandi saja yang menjadi sahabatnya. Tapi
tidak mengapa, air mau saja bersahabat dengan apapun selama mereka
saling menghormati tapi ketika air hanya dijadikan sarana pembuangan,
dia juga bisa marah, seperti kita. Ketika air marah, dia bisa naik
sampai ke lantai-lantai rumah mencari penghuninya untuk diajak bicara.
Kutebarkan
pandanganku ke rumah yang bertengger kokoh menghadap sungai sungai
Batanghari itu. Ingatanku terbang ke beberapa tahun yang lalu ketika aku
sempat tinggal di Belanda. Sebegitu bangga dan cintanya rakyatnya
dengan sungai atau kanal yang kebanyakan mereka buat paksa. Rumah dan
gedung-gedung modern dibangun menghadap ke sungai dan kanal itu.
Jalan-jalan dibentang sebagai pembatas antara rumah mereka dan kanal.
Taman-taman indah nan sederhana dengan kursi-kursi ditata menghadap ke
sungai atau kanal. Di sore hari dan petang hari orang-orang menikmati
secangkir kopi hangat menikmati senggang di senja tepi sungai temaram.
Siapa yang ingin menampik keindahan itu? Kita. Hampir semua rumah di
daerah ini sekarang hanya menyisakan punggung mereka kepada sungai.
Rumah batu ini sekarang sunyi. Tiada
denyut ditemui. Dinding batu lantai dasar telah terkelupas di sana-sini,
meninggalkan pecahan keramik yang dulunya digunakan sebagai ornamen
dinding. Bagian lantai dua bahkan lebih parah karena terbuat dari kayu
yang tak sanggup menahan gempuran waktu yang datang panjang tak
terbendung menyisakan lapuk dan rapuh. Beberapa alat masak kuno
seperti kuali besar teronggok di dalam ruangan. Kudengar rumah ini telah
dijadikan sebagai cagar budaya. Tapi cukupkah status itu? Hanya sebatas
itukah yang bisa kita dilakukan?
Semoga
bukan sebuah rindu yang berkelebihan, jika memang rumah batu ini rindu
bercerita tentang sejarah Jambi Seberang, berikanlah ia kelayakan untuk
bisa tetap berdiri kokoh sembari melanjutkan persahabatan abadinya
dengan Batanghari dengan saling bertegur sapa di pagi hari. Biarkanlah
dinding-dinding batunya berceloteh panjang lebar tentang keindahan
sejarah Jambi yang tak berlekang waktu. Suatu saat jika mampu, biarlah
aku saja yang mengumpulkan keping-keping rindunya, tentang suatu masa,
ketika ia indah tapi bersahaja. Semoga bukan sebuah rindu yang
berkelebihan.
No comments:
Post a Comment