“Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa para pahlawannya.” Terlalu sering kita mendengar atau
membaca kalimat ini terutama di momen perayaan hari Pahlawan dan hari
kemerdekaan Indonesia. Memang sudah seharusnya kita selalu ingat dan
mengormati jasa orang-orang hebat masa lalu yang berjuang untuk
kemerdekaan negara ini karena tanpa pengorbanan mereka, kita tidak akan
dapat mengecap manisnya hidup merdeka seperti sekarang. Namun pada
kenyataannya kalimat bijak itu sering berakhir di batas wacana diskusi
belaka. Pengabaian masih terjadi kepada mereka yang dulunya
mempertaruhkan jiwa raga untuk meraih kemerdekaan. Baru-baru ini
aku berkunjung ke sebuah tempat yang menyimpan sepenggal sejarah
dan budaya tak ternilai yang dapat dijadikan teladan oleh generasi
muda, milik seorang tokoh besar, pahlawan nasional Indonesia asal Jambi
bernama Kolonel Abundjani . Sekelumit kisah perjuangan almarhum Kolonel
Abundjani bisa dilihat di
http://museumperjuanganrakyatjambi.blogspot.com/2012/07/dialog-sejarah.html.
Menurutku, rumah peninggalan
almarhum Kolonel Abundjani ini memiliki nilai pembelajaran yang sangat
berharga dan penting untuk kita pelajari. Kiprah Kolonel Abundjani
sebagai seorang pejuang Indonesia dan sebagai seorang pengusaha hebat di
zamannya dapat kita gali dan pelajari di rumah elok ini. Namun setakat
ini, sejauh yang aku tahu, rumah ini terbengkalai tidak mendapat
perhatian. Aku tidak terlalu paham apa alasan pemerintah tidak
berinisiatif mengambil alih untuk melestarikan rumah ini. Apakah rumah
ini tidak pantas untuk dijadikan sebagai aset warisan sejarah dan
budaya? Aku tidak tahu jawabannya. Yang jelas, aku pribadi merasa rumah
ini menyimpan begitu banyak hal yang bisa aku pelajari, dari mulai
tentang perjuangan rakyat Jambi yang dipimpin oleh Kolonel Abundjani
sampai dengan benda-benda bernilai seni tinggi yang bisa dijumpai di
rumah tersebut. Untuk itu, aku mengajak kalian yang tertarik untuk masuk
dan menikmati keindahan rumah tersebut. Satu hal yang sangat
merisaukanku adalah rumah ini akan segera dijual kepada pihak manapun
yang tertarik untuk membeli, dan berdasarkan informasi dari keturunan
langsung Kolonel Abundjani, ada beberapa pihak swasta dan asing yang
tertarik untuk membeli lahan rumah ini. Mereka akan menghancurkan rumah
ini, meratakannya dengan tanah karena mereka tidak tertarik dengan
nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di rumah itu. Mereka hanya
menginginkan lahan rumah yang tentu saja sangat strategis karena
berlokasi tepat di daerah pusat perkantoran pemerintahan Provinsi Jambi.
Jumat,
4 Januari, langkah ini terjejak di sebuah rumah yang
menghamburkan begitu banyak informasi yang memang ingin kudapat setelah
sekian lama. Sejak awal, rumah ini membuatku dan temanku,
Oddie kewalahan menghadapai ribuan pertanyaan yang berhamburan dari alam
pikiran kami masing-masing tanpa sempat mendapat dan memberi jawab.
Rumah almarhum Kolonel Abundjani, orang hebat Jambi yang pernah pada
suatu ketika turut serta mempersiapkan negeri ini menjadi sebuah negara
merdeka yang bisa kita nikmati sekarang dan nanti. Selama ini sebagai
anak Jambi aku hanya sebatas melintas di depan rumah besar itu dengan
kecamuk tanya tanpa ada niat untuk mencari jawab. Tapi hari itu akhirnya
hampir semua tanya terjawab diiringi dengan pertanyaan-pertanyaan baru
yang lebih banyak lagi. Akhirnya kami menginjakkan di pekarangan rumah
yang luas ini. Sebuah rumah megah berdiri gagah menghadap hamparan
rumput, pohon-pohon, dan sebuah taman kecil di tengahnya. Rumah ini
dibangun di atas tanah yang lebih tinggi sehingga, jika kita berdiri di
teras, kita dapat memandang taman dan rerumputan tanpa penghalang.
Keraguan muncul ketika kami mengetuk pintu utama rumah itu beberapa kali
dan tidak ada yang membukakan pintu. Kami berinisiatif mengitari rumah
dan memeriksa sisi kanan belakang rumah yang ternyata masih memiliki
bangunan lain yang terpisah dengan rumah utama yang terletak memanjang
memanjang seperi faviliun. Singkat cerita, akhirnya kami diberi
kesempatan untuk melakukan tur mengelilingi rumah itu yang kami mulai
dari bagian belakang.
Bagian
pertama yang langsung menarik perhatianku adalah sebuah kolam renang
yang terletak di bagian belakang rumah. Meskipun kolam itu tidak terawat
karena sudah tidak dipakai sekian lama, bentuk kolam itu tetap mencuri
perhatian. Kolam ini dilengkapi dengan luncuran dan tangga untuk naik ke
atas. Kolam itu berbentuk angka delapan yang belakangan kami ketahui
memiliki makna khusus. Yang pertama angka delapan itu sesuai dengan
jumlah anak Almarhum Kolonel Abundjani yang memang berjumlah delapan,
dua putra dan enam putri. Makna lain yang kami peroleh adalah bentuk
angka delapan tersebut dapat juga melambangkan bulan Agustus sebagai
bulan kemerdekaan Republik Indonesia.
Di
bagian belakang bangunan berbentuk faviliun, aku menemukan sebuah
garasi dengan sebuah mobil jenis sedan bertengger di dalamnya. Meskipun
terlihat jelas bahwa mobil ini sudah tua, aku masih bisa membayangkan
mobil ini pasti termasuk dalam golongan mobil mewah pada masanya. Tidak
banyak informasi yang aku peroleh, tapi menurut anggota keluarga
almarhum Abundjani, mobil ini mobil langka yang hanya diproduksi tiga
unit. Salah satunya adalah yang dimiliki oleh Almarhum Abundjani ini.
Kemudian
aku naik ke atas atap garasi yang melalui sebuah tangga beton yang
sangat kokoh meskipun tangga ini sudah dibangun setelah sekian lama.
Kekagumanku adalah bagian atap garasi itu terbuat dari beton kuat,
datar, luas, dipagari dengar pagar tembok setinggi kira-kira satu meter
dan terhubung dengan bagian lantai dua atas faviliun, terus sampai ke
lantai dua rumah utama. Bahkan menurut cerita keturunan Abundjani,
bagian lantai dua rumah utama digunakan sebagai landasan helikopter
dulunya. Aku dapat membayangkan alangkah nikmatnya duduk-duduk di lantai
ini, bercengkerama sambil menikmati secangkir teh atau kopi panas di
bawah malam bercahayakan sinar bulan. Alangkah romantisnya sang pemilik
rumah ini.
Setelah
puas menikmati luas dan uniknya bagian belakang rumah ini, aku dan
temanku berkesempatan untuk masuk ke dalam rumah utama. Kali ini lain
lagi keindahan-keindahan gratis yang kami dapati. Bagian pertama yang
langsung aku dekati adalah lantai rumah yang dari jauh terlihat seperti
hamparan karpet dengan pola motif berbeda. Ketika didekati ternyata
itu lantai keras yang didesain sedemikian rupa dengan warna
berbeda sehingga terlihat seperti karpet. Lantai di setiap ruas ruang
memilki motif dengan perpaduan warna berbeda. Aku juga melihat beberapa
meja dengan koleksi foto-foto lama di antaranya adalah foto Kolonel
Abundjani dengan, Soekarno, Muhammad Hatta, Soeharto dan lain-lain. Aku
sempat bergumam dalam hati foto-foto itu pasti akan mampu bercerita
banyak tentang perjuangan bangsa Indonesia dulu.
Bagian
lain yang membuatku tidak berhenti berdecak kagum adalah bagian dinding
rumah yang kalau boleh aku sebut relief indah tak terkira. Hampir di
setiap ruas dinding terpahat relief-relief dengan berbagai macam bentuk
gambar dengan warna-warna indah, mulai dari pahatan beberapa wanita,
sepasang pria dan wanita, sekumpulan rusa, sekumpulan angsa, seekor
harimau, hingga pahatan sayur mayur dan buah-buahan yang khusus dipahat
di dinding ruang makan.
Aku bukan seorang ahli seni pahat. Tapi
aku yakin sekali bahwa pencipta relief-relief ini sungguh luar biasa
hebat. Seluruh pahatan dibuat sangat detail sehingga jika dilihat dari
kejauhan, relief-relief itu kelihatan seperti lukisan. Aku tak
bosan-bosan meraba semua relief yang ada untuk memastikan bahwa mataku
tidak sedang ditipu. Hasilnya aku memang bisa merasakan kulit buah
nenas yang kasar atau setangkai anggur yang terjuntai atau kain relief
wanita yang berpakaian tradisonal dari Minang . Informasi yang aku
peroleh dari keturunan almarhum Abundjani jumlah relief yang ada di
seluruh dinding rumah ini adalah empat puluh lima yang menandakan tahun
kemerdekaan Republik Indonesia. Tak mampu aku bayangkan puluhan tahun
yang lalu seorang Abundjani telah terpikir untuk menikmati seni indah
ini dengan mengabadikannya di dinding rumahnya. Kolam renang yang
berbentuk angka delapan, relief yang berjumlah emat puluh lima, dan
terakhir aku diberitahu bahwa jumlah kamar di rumah ini adalah tujuh
belas, Perlambangan hari kemerdekaan Republik Indonesia dari seorang
Abundjani yang sangat nasioanalis.
Melintasi
setiap ruangan, aku harus behenti menikmati keindahan setiap jendela
dan pintu rumah yang dipasang jeruji besi bermotif gadis-gadis
berpakaian tradisional Minang sedang menari tari lilin yang melegenda
itu. Pekerjaan merancang besi-besi jeruji menjadi bentuk unik di
seluruh pintu dan jendela pastilah bukan suatu kegiatan mudah. Agak
susah aku membayangkan tingkat kerumitan para ahli yang membuatnya dulu,
masa yang tidak secanggih sekarang. Aku juga bertanya-tanya mengapa
almarhum mendesain jeruji-jeruji itu dengan bentuk gadis Minang menari.
Abundjani adalah Putra Jambi yang lahir di Jambi yaitu itu di Batang
Asai. Mungkin alasan sederhananya adalah beliau memang cinta dengan
budaya indonesia nan kaya.
Lelah
aku menahan gempuran pikiranku yang tak henti-hentinya melemparkan
pertanyaan-pertanyaan tak berujung. Banyak perabotan yang menurut mata
kasarku bisa dikategorikan antik masih terpajang dengan rapi di rumah
itu. Aku menemukan beberapa lemari terbuat dari jati kokoh yang masih
terlihat baru dan bagus. Di samping tangga untuk naik ke lantai dua,
aku sempat terkesiap melihat piano kayu dan radio kuno sebesar mesin
cuci terpajang rapi. Aku yakin pemilik rumah ini pecinta seni sejati.
Keunikan
lain dari rumah almarhum Kolonel Abundjani ini adalah 3 ruangan bawah
tanah yang terletak di bawah garasi dan rumah utama. Aku tidak tahu
pasti tujuan dibangunnya bunker-bunker ini. Aku berasumsi mungkin
ruangan ini dulu digunakan sebagai tempat persembunyian jika
sewaktu-waktu pecah perang. Yang jelas saat ini ruangan-ruangan itu
digunakan sebagai tempat penyimpanan.
Terlalu banyak keindahan-keindahan yang
aku temukan di rumah ini dan aku takkan sanggup menceritakan semuanya di
sini. Satu hal yang pasti adalah, aku yang awam merasa alangkah
sayangnya jika rumah ini harus dihancurkan. Ada begitu banyak nilai
sejarah dan seni yang mampu memberikan kita pembelajaran tiada tara.
Cerita bagaimana seorang Abundjani memimpin memimpin dan mengatur
strategi perang melawan Belanda pasca kemerdekaan dan bagaimana seorang
Abundjani menajadi seorang pengusaha sukses di Jambi bahkan di asia
dapat menginsinspirasi kita sebagai generasi muda yang terlahir
beruntung di sebuah alam merdeka. Semoga mereka yang berwenang terketuk
pintu hatinya menyelamatkan aset bangsa ini, amin.