Translate

08 December, 2012

Rice Cooker Goes International

Rice cooker yang aku bawa ke Belanda

Sudah lama aku ingin menulis tentang rice cooker. Dalam beberapa kali pengalamanku mendamparkan diri di negeri orang, rice cooker menjadi salah satu barang penting yang sangat membantuku. Mungkin ketika kita berada di zona aman kita dimana makanan adalah sesuatu yang mudah didapat karena dijual dimana-mana, rice cooker bukanlah suatu barang yang luar biasa. Tapi ketika makanan yang biasa kita makan adalah sesuatu yang cukup langka atau mahal, maka rice cooker bisa menjadi sangat penting.

     Pengalaman pertama aku dengan rice cooker adalah ketika aku menempuh pendidikanku S2 di Belanda. Sebagai seseorang yang hanya mendengar dan membaca di internet, aku cukup dibingungkan dengan segitu banyak informasi tentang pentingnya membawa rice cooker dari Indonesia. Alasan yang aku baca adalah karena rice cooker akan selalu bisa memberikan kita nasi yang merupakan makanan pokok sebagian besar orang Indonesia meskipun mengandung lebih banyak karbohidrat dibandingkan dengan makanan pokok lain. Namun ada juga yang mengatakan bahwa aku tidak usah repot-repot membawa rice cooker ke Belanda karena aku bisa membelinya di sana. Aku meminta pendapat dari sana sini terutama dari orang tuaku. Ketika aku bertanya kepada orang tuaku, aku tahu aku salah orang. Mereka pasti membayangkan anaknya akan mati kelaparan di negeri orang karena tidak ada nasi yang bisa dimakan.  Akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan rice cooker ke dalam koperku yang aku lihat seperti mau meledak karena ada begitu banyak barang yang aku masukkan.

     Akhirnya akupun menjejakkan kakiku di negeri kincir angin.  Seperti biasa, memulai sesuatu yang baru bukanlah sebuah hal yang mudah apa lagi memulai untuk hidup dan tinggal di sebuah negara yang benar-benar jauh dan berbeda dengan negaraku. Tapi aku selalu yakin bahwa semua akan bisa dijalani dengan baik. Aku ditempatkan di sebuah apartemen di lantai 2 di sebuah kota bernama Nijmegen. Ketika pertama kali kami masuk ke flat itu, kami diberikan beberapa peralatan dapur penting seperti sendok, garpu, piring, gelas, dan panci kecil. Geli aku ketika membayangkan bagaimana jika aku adalah salah satu dari  ibu-ibu rumah tangga di daerahku yang kebanyakan terbiasa memasak untuk keluarga yang porsinya bisa cukup untuk makan warga sekampung. Mereka pasti berteriak sambil mengatakan bahwa tidak akan bisa hidup lebih dari 1 minggu ke depan karena mereka tidak menemukan kuali besar untuk menumis atau menggoreng atau panci besar untuk menggulai atau batu penggilingan untuk menghasilkan sambal lezat yang katanya berbeda kelezatannya jika dihaluskan dengan blender. Tapi bagiku semua peralatan yang minim itu tidak terlalu berpengaruh karena aku tidak pandai memasak di Indonesia dan jujur saja aku cemas membayangkan apa yang aku makan nanti, besok, dan seterusnya. Ternyata kami memang tidak diberikan rice cooker. Sebenarnya ini bisa dipahami karena orang Belanda atau orang Eropa pada umumnya tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok mereka. Tapi aku pikir seharusnya panitia yang menyiapkan apartemen untuk kami bisa lebih peka karena tahu kami berasal dari negara pecinta karbohidrat sejati. Tapi akupun menyadari, sudah bagus aku dibiayai segini besar untuk bisa kuliah di sini, rasanya tidak pantas untuk mengeluh karena tidak diberikan rice cooker. Di samping itu, aku juga jadi terpikir untuk mengurangi makan nasi dan membujuk lidah kedaerahanku untuk makan roti atau kentang rebus yang katanya lebih sehat. Aku tidak yakin dengan niatku yang terakhir ini. 

     Singkat cerita, aku harus berterimakasih dengan semua yang mendukungku untuk membawa rice cooker ke Belanda. Memang hampir setiap hari aku makan nasi seperti biasa ditemani dengan lauk pauk sederhana yang rasanya jangan ditanya karena akan sulit aku jelaskan di sini sangking sulitnya aku menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Intinya, aku akhirnya bisa memasak beberapa jenis masakan. Beras impor dari Suriname, Thailand, atau India sangat mudah didapat di supermarket kecil atau besar di Belanda. Beberapa kali aku mencoba untuk makan roti saja dan tidak makan nasi, tapi aku merasa ada yang aneh di perutku. Akhirnya aku putuskan tetap makan roti tapi hanya sebagai kudapan pagi atau malam saja dan nasi tetap menjadi pilihanku dengan rice cooker sebagai penolongku. 

Kamar Hotel di Paris, rice cookernya tidak kelihatan, tapi sebenarnya para ibu-ibunya sedang memasak mi instan dengan rice cooker itu.

     Pada kesempatan kedua, ketika aku dan teman-temanku pergi ke Paris, rice cooker kembali menjadi pahlwan sejati kami. Kami hanya menghabiskan sekitar 3 hari di Paris dan tentu saja bagi kami salah satu tantangan utama kami adalah makanan. Tentu saja ada banyak restoran yang menawarkan beragam makanan lezat. Tapi ada beberapa hal yang harus kami pertimbangkan. Pertama, kami harus irit dalam penggunaan uang. Masuk ke restoran berarti kami harus menyiapkan uang yang cukup sementara sebagai mahasiswa yang rata-rata adalah penerima beasiswa, kami harus pintar menjaga pengeluaran kami. Kedua, kami juga tidak bisa makan apa saja dan di mana saja kami mau karena agama dan keyakinan yang kami anut. Aku harus mengacungkan jempol kepada teman-temanku yang perempuan. Jauh sebelum mereka berangkat, mereka telah berbagi tugas untuk membawa bekal makanan yang cukup tahan beberapa hari. Ada yang memasak rendang daging lezat. Ada yang membawa sambal tempe yang hanya membayangkannya saja mampu membuat liurku mencair. Mereka juga membawa beberapa bungkus mi instan yang sebenarnya membuatku bingung, bagaimana cara memasak mi instan itu nanti di kamar hotel? Apakah hotel akan menyediakan kompor dan panci seperti hotel-hotel di Indonesia? Jujur aku tidak tahu. Dua benda terakhir yang mereka siapkan adalah rice cooker besar dan beras. Untuk dua benda terakhir ini aku mengacungkan jempolku kepada teman-temanku karena tentu saja nasi akan menjadi makanan utama yang akan membuat kami aman bertahan selama kami berada di sana. 

Aku sedang menikmati sisa nasi, rendang, dan sambal tempe jatah temanku yang di sebelah kananku yang akhirnya membuat dia masuk angin dan muntah-muntah karena kelaparan. (maaf ya mbak)

     Kamipun berhasil menjejakkan kaki di Paris, Perancis. Semua perbekalan yang disiapkan oleh teman-temanku memang terbukti mampu membuat kami berhemat dan tetap bisa makan enak. Bahkan bekal kami habis sebelum kami pulang ke Belanda. Suatu saat aku tidak bisa menahan lapar ketika kami menikmati indahnya kota Paris, aku meminta bekal temanku yang memang sengaja membawa bekal karena dia menderita maag dan harus mengisi perut setiap saat. Hasilnya temanku itu muntah-muntah dan masuk angin karena perutnya kosong sementara bekalnya habis aku makan.  Masalah mi instan yang aku pertanyakan, ternyata mudah saja solusinya. Teman-teman yang perempuan merebus mi itu menggunakan rice cooker yang kami gunakan untuk memasak nasi. Ide cerdas itu tidak melintas di pikiranku sebelumnya. Aku tidak terpikir bahwa rice cooker mampu merebus air yang bisa digunakan untuk merebus mi. Sekali lagi rice cooker tampil sebagai pahlawan internasional.

     Rice cooker kembali menjadi pahlawan yang memberikan sumbangsih besar untuk perjalananku. Terakhir aku melakukan perjalanan murah ke beberapa negara asia tenggara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, dan Kamboja. Aku melakukan perjalanan itu dengan tiga orang temanku dan aku dengan semangat berbagi pengalamanku ketika aku ke Paris membawa bekal makanan dan rice cooker. Awalnya semua mencibir dan berkata bahwa situasi di Eropa berbeda dengan di negara-negara asia tenggara yang relatif memiliki makanan yang hampir sama dengan makanan Indonesia. Tapi aku berhasil meyakinkan teman-temanku bahwa mencari makanan yang halal di negara-negara lain tidak akan semudah dibandingkan dengan di Indonesia. Akhirnya kamipun memutuskan untuk membawa rendang yang menjadi andalan kami, sebagai informasi, rendang telah dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia oleh salah satu lembaga survey. Kemudian kami membawa sambal ikan teri dicampur dengan kacang tanah, dan kentang yang diiris tipis dan digoreng kering. Untuk makanan yang satu ini, aku merasa sangat senang karena sebenarnya itu adalah permintaan pribadiku. Tentu saja kami tidak lupa membawa beberapa bungkus mi instan, beras, dan rice cooker sang pahlawan. Aku kembali diprotes ketika aku mengusulkan untuk membawa beras yang pasti akan mudah diperoleh di negara-negara lain di asia tenggara tapi aku bersikeras untuk membawanya sekedar untuk berjaga-jaga jika kami berada pada situasi kami tidak bisa menemukan makanan yang bisa kami makan. Rice cookerku yang berukuran kecilpun dibawa dan orang yang beruntung membawa rice cooker itu adalah temanku yang berbadan paling pendek di antara kami tapi membawa tas dengan ukuran paling besar hampir sama besar dengan ukuran tubuhnya.  Awalnya dia mencak-mencak menolak untuk membawa rice cooker itu, tapi kami berhasil meyakinkan dia atau lebih tepatnya menakut-nakuti dia bahwa di Kamboja tidak ada makanan yang bisa dimakan sementara dia pernah bilang kalau dia harus makan nasi setiap hari. 

     Sesampainya kami di Malaysia, bekal makanan yang kami bawa sudah langsung melaksanakan tugasnya dengan baik. Kami tiba di bandara Kuala Lumpur di sore hari dan kami kelaparan. Kamipun memutuskan untuk mencari restoran siap saji berlabel halal. Baru sekitar dua atau tiga suap teman-temanku menyantap makanan yang kami pesan, mereka berpandang-pandangan penuh arti sejenak, lalu semua pandangan mereka yang berubah menjadi sedikit buas, beralih ke tas punggung temanku yang menyimpan bungkusan rendang. Dapat ditebak, beberapa menit berikutnya, bungkusan rendang telah terbuka dan menyusut isinya sampai setengah. 

     Semua makanan dan rice cooker yang kami bawa memang benar-benar memberi kami kemudahan yang luar biasa. Ketika kami tiba di Siam Reap, Kamboja, kami dilanda kelaparan yang cukup serius setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia, Malaysia, dan Kamboja dan ingin segera makan tanpa harus berpikir harus membeli apa dan dimana. Maka keluarlah kembali senjata pamungkas yang kami bawa. Setelah masuk ke kamar hotel, kami memasak nasi dengan rice cooker yang kami bawa dan setelah nasi tanak, kami makan dengan tertawa seru sambil berebut sambal terasi instan yang kami bawa. Keesokan paginya, sebelum menuju Angkor Wat, komplek candi yang termasyur di dunia itu, kami pun menikmati sarapan mi instan rebus yang kami rebus di rice cooker. Tidak ketinggalan kami membawa bekal nasi dan lauk yang masih tersisa untuk makan siang kami di Angkor Wat. Tidak ada lagi yang memprotes keputusan kami membawa rice cooker, yang ada adalah semua bekal makanan yang kami bawa menyusut drastis bahkan sebelum kami sampai di Thailand dan Singapura.

 

 

 

 

 

 

2 comments: