Translate

22 December, 2012

Mimpi-Mimpi Ketenu 4

Keluarga majikan Ketenu kedatangan tamu istimewa. Seorang bule bernama Patrik dari Swedia. Patrik bukan Patrick adalah kenalan keluarga majikan Ketenu yang pernah datang ke rumah itu sebelumnya. Awalnya Patrik  hanyalah seorang traveler yang kebetulan mampir di kota Ketenu. Tapi kemudian oleh salah seorang anak majikan Ketenu yang berprofesi sebagai dosen bahasa Inggris, Patrik diundang untuk menginap di rumah mereka selama dia berada di kota ini. Itu kejadian dua tahun yang lalu sebelum Ketenu bekerja dengan keluarga itu. Kali ini Patrik kembali datang. Sepertinya dia benar-benar cinta dengan kota yang sebenarnya tidak ada objek wisata yang benar-benar layak untuk di kunjungi.

Patrik tiba di satu Sabtu pagi ketika semua anggota keluarga sedang berkumpul termasuk Ketenu. Patrik termasuk tipe orang yang tidak banyak bicara. Dia hanya menebar senyum lebar ketika bersalaman dengan setiap orang. Dengan tinggi tubuh hampir dua meter dan rambut pirang panjang melewati bahu, Patrik mirip dengan Maria Sharapova, petenis cantik asal Rusia jika di lihat dari belakang. Semua menyalami Patrik dengan hangat sambil mengucapkan selamat datang. Tapi ketika semua sudah bersalaman dengan Patrik, semua baru menyadari Ketenu telah lenyap dari ruangan itu. "Ketenu, kamu dimana?" teriak sang nyonya rumah memanggil Ketenu. "Iya Bu, saya di kamar saja Bu," Ketenu menjawab dengan suaranya yang terdengar sama-samar. Akhirnya anak perempuan majikan Ketenu masuk ke kamar Ketenu untuk mengajaknya keluar. "Lho, kok Yuk Tenu malah ngumpet di sini, ayok kenalan sama Patrik," ujarnya seraya menarik pergelangan tangan Ketenu yang besar. "Yuk Tenu takut Mbak, kok tinggi sekali dia, rambutnya kok pirang kayak rambut tante sebelah yang suka ke salon? Jangan-jangan dia itu perempuan jahat, Mbak." Ketenu berusaha menolak ajakan itu. Tapi dia tidak bisa menolak lagi ketika majikannya kembali memanggilnya keluar. 

Dengan tangan dingin gemetaran, Ketenu berjabatan tangan dengan Patrik. "Hello, nice to meet you," ujar Patrik dengan ramah. Sambil setengah menangis Ketenu menoleh ke arah anak majikannya, "Mbak, dia bilang apa, Mbak? Dia pasti bilang Yuk Tenu jelek ya Mbak?" Ketenu yang hanya sempat bersekolah sampai kelas dua SD karena keburu dipaksa menikah oleh orang tuanya tidak pernah sempat belajar bahasa Inggris. "Nggak Yuk Tenu, dia bilang Ayuk cantik." Tentu saja anak majikan Ketenu hanya bergurau agar Ketenu merasa nyaman dan mau berkenalan dengan Patrik. Spontan mata Ketenu berbinar dan senyumnya merekah seperti kembang matahari di pagi hari. Hilang rasa takutnya melihat Patrik yang berambut pirang dan bermata hijau itu. Bahkan tanpa disuruh Ketenu langsung bergegas menyiapkan kamar tamu yang berada persis di depan kamarnya untuk Patrik.

Ketenu yang biasanya bangun di atas pukul 10 pagi, kini sanggup bangun pukul 7 demi bisa menyiapkan sarapan pagi buat Patrik. Hampir setiap pagi Patrik yang telah bangun dan mandi berdiri di depan pintu menikmati hangatnya sinar matahari. Hal ini dapat dimaklumi mengingat betapa susahnya menemukan hangat matahari di musim dingin di negaranya, Swedia. Kenyataan ini tidak pernah bisa diterima oleh Ketenu yang tetap ngotot bilang kalau Patrik itu aneh karena selalu berjemur di bawah sinar matahari. "Saya aja tahan ngabisin gaji sebulan untuk beli obat pemutih muka dan badan. eh dia malah mau ngitamin kulitnya," omel Ketenu yang didengar oleh anak-anak majikannya dengan putus asa karena percuma memberi penjelasan kepadanya, toh dia tidak pernah bisa mengerti. Seperti biasa pagi itu Ketenu bersemangat ingin menyiapkan sarapan untuk Patrik. "Ibu, pagi ini Tenu nyiapin apa buat sarapan Bang Patrik?" tanya Ketenu. "Coba kamu tawarin dia mi instan aja, Tenu," jawab si nyonya yang buru-buru bergegas menuju garasi. Ketenu bengong sesaat, dia bingung bagaimana caranya menawarkan mi ke Patrik. Akhirnya dia tahu solusinya. Kebetulan Anak bungsu majikannya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD belum pergi ke sekolah dan sedang memaki sepatu. "Dek, Yuk Tenu mau nanya, bahasa Inggrisnya apakah kamu mau mi apa ya dek?" Tanya Ketenu penuh semangat soalnya sebentar lagi dia bisa ngobrol dengan Patrik. Anak majikan Ketenu menjawab, "Oh gampang Yuk, bahasa Inggrisnya do you want mi? gitu Yuk," jawab si anak sambil berlari keluar rumah menuju sekolahnya yang tidak jauh dari rumahnya.

Tanpa menunggu lama, Ketenu langsung menemui Patrik yang masih berjemur berdiri menghadap matahari di pintu samping rumah. "Hai Patrik" Sapa Ketenu denga senyum semanis madu andalannya. "Hi Ketenu" balas Patrik dengan sopan.  Meluncurlah kalimat yang telah diajarkan oleh anak majikannya dari mulutnya. "Do you want mi, Patrik?" Tanya Ketenu dengan rasa bangga di dada karena bisa mengucapkan kalimat bahasa Inggris itu dengan lancar. Wajah Patrik sedikit berubah, "Excuse me?" Patrik merasa mungkin dia salah dengar. "Do you want mi?" Kali ini Ketenu mengucapkannya dengan suara keras agar Patrik mendengarnya dengan jelas. "No, I'm sorry, I don't want you, thank you very much," jawab Patrik sambil membuat tanda menolak dengan telapak tangan kanannya. Kelihatannya Patrik menjadi agak sedikit gugup, terkejut dan takut mendengar pertanyaan Ketenu itu. Ketenu bergegas kembali ke dapur sambil menggerutu panjang pendek. "Ya sudah, kalau nggak mau disiapain sarapan, kan situ yang lapar," kata ketenu sambil mencuci piring. Alhasil pagi itu Patrik kelaparan karena tidak makan apa-apa. Sepertinya Ketenu harus belajar bahasa Inggris.

 


20 December, 2012

a Deaf and the Sun

20.12.2012

I was born in a silence of a crowded world 

I can't hear my own cry

all steps are  dragged away

but that is fine 

I have my friend

who without words I share my stories with

who without laughter I joke with

who always smiles at me at the end

my friend, the sun

 

a Deaf and The Sun

20.12.2012

aku terlahir ke dunia ramai yang berkesunyian

aku tak mampu mendengar tangisku sendiri

semua langkah diseret menjauh 

tapi tak mengapa, 

aku punya teman setia

tanpa kata aku bercerita 

tanpa senda aku bergurau

dan dia selalu tersenyum padaku karena dia mengerti

dia matahariku


19 December, 2012

Nonton film aksi gratis

Pagi ini aku menyaksikan suatu keajaiban dunia yang luar biasa. Biasanya aku hanya menyaksikan peristiwa ini di film-film aksi dari barat sana. Tapi yang aku lihat adalah aksi nyata luar biasa tanpa peran pengganti.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bergegas menuju kantor. Hari memang sudah tidak pagi lagi jadi aku agak sedikit memacu kencang kendaraanku. Tibalah aku di persimpangan dimana aku harus berbelok ke arah kanan. Aku tidak perlu menunggu  lampu hijau untuk melaju ke kanan karena walaupun simpang empat, para pengendara yang berada di tiga ruas jalan lain tidak diperbolehkan untuk masuk dan menggunakan jalan yang aku tempuh alias hanya satu arah. 

Saat itu cukup banyak pengendara yang memiliki tujuan yang sama denganku yang akan berbelok ke kanan karena jalan ini menuju pusat perkantoran pemerintah. Semua pengendara baik motor ataupun mobil memacu kendaraannya cukup kencang karena belokan ke arah kanan masih cukup jauh. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncullah seorang perempuan berambut pirang, mengendarai sepeda motor. Rambut pirangnya yang tidak tahu asli atau tidak itu, kelihatan berkibar seperti bendera diterpa angin kencang karena dia tidak memakai helm. Wanita itu membawa seorang anak kecil yang duduk di depannya. Aksi itu dibuat lebih dramatis lagi yaitu tangan kirinya diangkat tinggi memegang telepon selularnya. Sepertinya dia sedang membaca pesan singkat atau sedang membuka situs jejaring sosial. Tanpa merasa takut, cemas, atau bersalah, dia melaju kencang ke arahku yang dilarang. Spontan semua pengendara termasuk aku yang cukup mepet di sisi kanan jalan panik membanting stir ke kiri memberi dia ruang untuk bisa melaju dari arah berlawanan dari sisi kiri dia.  Untung semua pengendara waspada dan membantung stir tepa waktu. Jika tidak, akan terjadi pertempuran tidak seimbang antar wanita itu melawan kami yang terdiri dari beberapa motor dan mobil.

Aku tidak menghitung berapa banyak kosa kata tidak senonoh yang keluar dari mulut pengendara yang satu arah denganku. Si wanita membalasnya dengan senyum manis. Syukurlah kamu masih bisa tersenyum, ucapku dalam hati.


17 December, 2012

Tips untuk Backpacker ke Luar Negeri. MAKANAN

Bagiku, Makanan adalah salah salah satu hal penting lain yang harus menjadi perhatian. Beberapa faktor yang harus kita pertimbangkan tentang makanan yang pasti adalah pertama, makan di restoran di negara lain bisa menyedot isi kantong kita karena mahal. Kedua, jenis makanan yang kita temukan di negara lain belum tentu sesuai dengan selera kita. Ketiga, bagi yang muslim, untuk memperoleh makanan yang halal di negara lain terutama negara Islam minoritas bisa menjadi suatu sebuah tantangan. Beberapa tips yang bisa dipertimbangkan:
1. Membawa rice cooker
Jika pergi berkelompok, bagi kita pemakan nasi, rice cooker bisa menjadi dewa penolong yang sangat membantu. Rice cooker bisa digunakan untuk menanak nasi, merebus mi instan, bahkan merebus air untuk teh atau kopi bila diperlukan. Tidak akan merepotkan untuk membawa sebuah rice cooker mini ke dalam backpack kita. Aku berbagi pengalamanku dengan rice cooker di tulisanku yang lain, baca: http://lukmantanjung.blogspot.com/2012/12/rice-cooker-goes-international.html 
2. Membawa makanan atau bahan makanan yang bisa dibawa
Banyak jenis makanan yang bisa kita bawa jika kita tidak ingin mengambil resiko makan makanan mahal, tidak sesuai selera atau yang tidak tidak jelas halal atau tidak. Makanan dan bahan makanan seperti rendang, sambal kering, mi instan, dan sambal instan menjadi pilihan luar biasa tepat jika kita mau berhemat namun tetap bisa makan enak. Bahkan untuk pertahanan di awal-awal, beraspun bisa dibawa mendampingi rice cooker yang bisa juga kita bawa sebelum kita bisa menemukan tempat yang menjual makanan atau bahan makanan yang layak kita makan.
3.  Mengumpulkan informasi tentang restoran atau tempat makan yang menjual makanan yang bisa kita makanan.
Ketika kita berada di negeri orang, tentu saja kita tetap ingin merasakan makanan khas di tempat tersebut. Bekal yang kita bawapun tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan makan kita jika kita bepergian untuk waktu yang lama. Akan sangat membantu jika sebelum melakukan perjalanan, kita pesiar di dunia maya mencari tempat-tempat yang menjual makanan yang layak kita makan dari segi harga, kesehatan, cita rasa, dan keyakinan agama kita. Internet akan sangat membantu kita. Dengan bekal informasi yang cukup detail, kita tidak perlu panik karena takut kelaparan di negeri orang. 
 
 

Tips untuk Backpacker ke Luar Negeri. UANG

Tidak bisa dipungkiri bahwa uang adalah modal terpenting kita untuk bisa jalan-jalan ke luar negeri. Bersyukurlah jika kita tidak punya kendala keuangan. Tapi perlu diingat bahwa kita tidak selalu harus memiliki uang yang banyak untuk bisa ke luar negeri. Dengan latar belakang ekonomi dan pekerjaan yang berbeda-beda, kita masih bisa menyisihkan uang untuk jalan-jalan ke luar negeri. Berikut beberapa tips yang mungkin bisa dipertimbangkan.

1. Menabung pribadi

Menabung sendiri dengan menyisihkan gaji atau uang saku yang memang secara khusus kita peruntukkan untuk jalan-jalan bisa dilakukan. Sekalipun butuh waktu panjang untuk bisa mengumpulkan uang yang cukup, mengapa tidak? kita bisa melakukannya dengan kesadaran bahwa suatu saat kita bisa mewujudkan salah satu mimpi kita. Besaran uang yang kita tabung disesuaikan dengan kesanggupan kita. Yang penting adalah konsistensi kita untuk tetap rutin menabung dan tidak menggunakannya untuk kepentingan lain.

2. Menabung kelompok

Melakukan perjalanan secara berkelompok akan sangat mengasyikan. Kebersamaan bisa dimulai dengan membuat satu tabungan bersama yang uangnya akan digunakan untuk biaya jalan-jalan ke luar negeri. Sebuah sistim organisasi sederhana dapat dibentuk. Pilih seseorang yang diangkat sebagai bendahara yang mengatur masalah penyimpanan uang. Lagi-lagi konsistensi anggota kelompok menjadi sangat penting dalam hal ini. 

3. Melakukan usaha kecil-kecilan bersama

Untuk yang kreatif, menciptakan bisnis atau usaha bersama merupakan salah satu alternatif terbaik yang bisa dilakukan untuk mengumpulkan uang tanpa harus mengganggu keuangan pribadi masing-masing. Meskipun untung yang diperoleh tidak begitu besar, jika dilakukan secara serius, tetap bisa memberi untung yang bisa dimanfaatkan untuk biaya jalan-jalan.

Tips untuk Backpacker ke Luar Negeri. HOTEL

Hotel atau penginapan adalah hal penting lain yang harus kita pertimbangkan sebelum kita melakukan perjalanan  ke luar negeri. Tentu saja jika kita punya banyak uang atau siap menghabiskan uang di hotel mewah, kita tidak perlu pusing memikirkan di mana kita akan menginap. Tapi jika kita ingin berhemat tapi masih bisa mendapatkan penginapan yang layak, kita harus cerdas untuk menyikapinya. Ada beberapa tips yang dapat kita lakukan untuk berhemat.
1. Menjelajah internet untuk mencari dan memesan kamar hotel murah di negara yang akan kita kunjungi.  
Umumnya hotel-hotel itu memiliki situs untuk mempromosikan hotel mereka bahkan beberapa hotel menyediakan pemesanan hotel secara online yang prabayar ataupun pasca bayar. Kemudian kita bandingkan harga kamar hotel yang satu dengan yang lain. Biasanya mereka akan menjelaskan fasilitas apa saja yang mereka tawarkan untuk setiap jenis kamar. Kita masih bisa memperoleh kamar berpendingin dan kamar mandi di dalam dengan harga yang masih masuk akal dan terjangkau plus dekat dengan objek-objek yang akan kita kunjungi. Bisa saja kita baru mencari hotel ketika kita sampai di negara tujuan. Tapi ada beberapa resiko yang mungkin kita hadapi. Pertama, mungkin saja saat itu hotel-hotel sedang penuh sehingga kita harus berusaha ekstra untuk mencari hotel yang sesuai. Kedua, jika tidak terlalu banyak menemukan alternatif hotel, otomatis kita tidak punya banyak pilihan untuk mendapatkan kamar murah. Memang ada resiko yang harus kita ambil ketika memesan kamar hotel secara online, yaitu belum tentu kamar hotel yang kita pesan akan seindah atau sebagus yang ditampilkan di situs internet. Cara mengakalinya adalah, usahakan memesan kamar tersebut untuk satu atau dua hari saja. Jika ternyata setelah kita sampai ternyata kamar itu tidak sesuai dengan apa yng kita bayangkan, kita bisa pindah ke hotel yang lain. 
 
2. Menginap di bandara bila perlu
Bandar udara internasional menurutku adalah salah satu tempat yang cukup layak untuk kita jika kita harus bermalam di sana dan kita bisa menghemat uang untuk membayar kamar hotel. Tipsnya adalah, kita harus memastikan jadwal penerbangan yang akan kita lakukan. Seandainya kita tiba di suatu negara tujuan di malam hari atau harus transit di suatu negara pada malam hari dan akan melanjutkan penerbangan kita di pagi harinya, menginap di bandara adalah suatu hal yang dapat kita lakukan ketimbang mencari hotel. Ada banyak penumpang yang biasanya bermalam di bandara sebelum meneruskan perjalanan mereka keesokan harinya. Kita tinggal mencari sudut nyaman strategis untuk membentang alas tidur yang kita punya atau koran yang bisa kita beli di Bandara. Kita bisa menggunakan kamar mandi bandara untuk sekedar mencuci muka dan menyikat gigi. Selain bisa berhemat, kita juga tidak akan khawatir ketinggalan pesawat keesokan harinya karena kita masih berada di area bandara.
 
3. Hubungi teman atau saudara bila ada
Jika kita memiliki teman atau saudara yang dapat kita tumpangi, itu akan lebih baik. Tapi jangan tiba-tiba mengontak mereka yang sebelumnya tidak pernah kita hubungi dan langsung meminta tumpangan. Jalinlah dulu komunikasi yang baik dengan mereka sebelum kita berangkat. Bila perlu siapkan souvenir atau oleh-oleh yang gampang dibawa untuk mereka. Kita harus menginformasikan dengan jelas kapan kita akan datang jadi mereka bisa bersiap-siap. 
 
4. Bergabung dengan jaringan traveler dunia
Saat ini banyak sekali jaringan-jaringan traveler dunia yang dapat membuat kita berkenalan dengan orang-orang yang tertarik dengan dunia traveling. Jika kita bergabung menjadi anggota klub, kita bisa menghubungi anggota klub lain yang berdomosili di negara yang akan kita tuju dan mengontak mereka apakah bersedia memberi penginapan gratis kepada kita untuk beberapa hari. Biasanya jika mereka tidak sibuk, mereka akan menerima kita. Tentu saja kita harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan mereka sehingga mereka percaya kalau kita tidak punya maksud tidak baik. Yang aku tahu dan aku coba sendiri bisa dibuka di www.couchsurfing.org

15 December, 2012

Mimpi-Mimpi Ketenu 3

Kali ini Ketenu menjadi buah bibir. Hampir semua orang di Kelurahan Rajawali mengenal harumnya nama Ketenu yang menjadi pahlawan. Bahkan beberapa koran lokal mencari Ketenu ke rumah tempat Ketenu bekerja sebagai pembantu rumahtangga. Memang mereka tidak berhasil bertemu dan mewawancarai Ketenu karena dia kabur ketakutan dan bersembunyi di kolong tempat tidur yang hanya bisa menyembunyikan sebelah kakinya saja. Namun mereka tetap menerbitkan berita tentang Ketenu berdasarkan informasi dari warga yang tinggal di sekitar rumah tempat Ketenu bekerja. Tapi karena mereka tidak berhasil memotret Ketenu, akhirnya mereka memasang foto Xena dari serial Xena the Warrior Princess, dengan judul besar, "Ketenu, Pahlawan Kelurahan Rajawali". Apa yang telah dilakukan oleh Ketenu sehingga dia menjadi buah bibir?

Cerita dimulai pada satu hari minggu. Seperti biasa Ketenu melakukan kewajibannya sehari-hari di rumah majikannya. Hari menunjukkan pukul 10 pagi, Ketenu baru saja bangun dari tidur panjangnya. Memang walaupun Ketenu bekerja sebagai pembantu rumahtangga, dia jarang bangun pagi seperti kebanyakan pembantu rumahtangga lain. Majikannya sudah sangat maklum dengan hal itu. Percuma saja membangunkan Ketenu di saat dia tidur. Pernah suatu ketika Ketenu yang menurut anak majikannya selalu tidur gelisah berguling kesana-sini ditemukan tidur bergelimang sepatu di samping rak sepatu yang sudah dalam keadaan terbalik yang terletak di depan pintu kamarnya. 

Seperti biasa setelah bangun Ketenu langsung mandi dan berganti kostum lengkap dengan celemeknya yang bermotif angry bird bersiap melakukan rutinitasnya membersihkan rumah majikannya yang seukuran lapangan sepak bola dikali dua. Dikali dua karena rumah tersebut terdiri dari dua tingkat. Kegiatan Ketenu dimulai dengan membuka semua jendela dan menyingkap semua tirai jendela agar udara pagi yang masih belum tercemar masuk ke dalam rumah. Kebetulan hari itu seluruh anggota keluarga majikan Ketenu pergi pagi-pagi sekali untuk menghadiri sebuah acara keluarga. Malamnya Ketenu sudah diberi pesan oleh istri majikannya kalau mereka akan pergi pagi-pagi sekali dan mereka akan mengunci pintu rumah dari luar. Setelah menyetel lagu dangdut dari VCD bajakan yang suaranya mengalun keras, Ketenu mulai membuka jendela dan menyapu seluruh ruangan. Sambil sesekali berdendang dan bergoyang dia terus bekerja tak kenal lelah. Badan gemuknya bergerak lincah kesana kemari memainkan sapu mencapai sudut-sudut ruangan yang berliku.

Ketika Ketenu sedang membersihkan kamar majikannya di lantai atas, masuklah seorang pria yang mengendap-endap dari pintu garasi yang ternyata tidak terkunci oleh majikan Ketenu dan keluarganya. Pintu itu memang dalam keadaan rapat tapi tidak terkunci. Sepertinya laki-laki yang masuk ini sudah mengintai rumah itu cukup lama sehingga dia mengetahui kalau rumah itu kosong dan hanya ada Ketenu di dalamnya. Pria itu membuka pintu garasi secara perlahan dan tentu saja tidak didengar oleh Ketenu yang sedang berada di lantai atas ditambah alunan lagu dangdut yang terus mengalun. Pria itu telah berhasil masuk ke dalam garasi dan terus mengendap menuju pintu penghubung garasi dan rumah yang memang tidak dikunci. 

Pria itu telah berada di belakang mobil majikan Ketenu yang terparkir persis di dekat pintu penghubung. Ketenu yang sedang melongokkan wajahnya ke luar kamar majikannya yang berada di atas garasi  untuk membuka jendela tertegun dan bengong sesaat. "Siapa orang ini?" gumamnya dalam hati. Meskipun lugu dan lucu, Ketenu mampu berpikir cepat dan sadar bahwa pria yang mengendap-endap itu pasti mempunyai niat tidak baik, "Kalau tujuannya bertamu, mengapa harus mengendap-endap?" Ketenu melanjutkan gumamannya. Perlahan-lahan Ketenu menuju tangga turun ke lantai bawah sambil memegang erat-erat sapu di genggamannya yang tiba-tiba mengeras sekeras batu. Ketenu bersembunyi persis di balik tirai jendela yang berada di samping pintu penghubung garasi dan rumah. Ketenu memegang erat sapu senjata andalannya sambil mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup lebih kencang seperti biasanya. Dia sempat khawatir pria yang berada sekitar dua meter darinya di balik pintu dapat mendengar degupan jantungnya. Pria itupun menjulurkan kepalanya ke dalam rumah dan ketika pria itu memalingkan mukanya ke arah Ketenu, secepat kilat Ketenu mengayunkan batang sapu yang dipegangnya sekeras-kerasnya ke arah muka si pria. Pria itu menjerit kesakitan sambil menutupi mukanya dan belum cukup sampai di situ, Ketenu yang telah melepaskan sapunya, mengayunkan tinju besarnya ke arah muka si pria yang masih menutupi mukanya menahan sakit dihantam sapu Ketenu. Kali ini pria itu tidak sanggup menahan kerasnya bogem Ketenu dan diapun jatuh ke lantai. Ketenu sadar bahaya masih mengintainya jika pria itu masih sanggup berdiri dan balik menyerangnya. Tanpa pikir panjang, Ketenu menghempaskan tubuhnya yang memang sangat berat ke atas tubuh pria itu. Ketenu beberapa kali sempat melihat anak majikannya menonton acara Smack Down di televisi jadi sedikit banyak dia tahu bagaimana cara yang tepat untuk melumpuhkan pria itu. Pria itu hanya bisa mengeluarkan suara lenguhan pendek dan Ketenu langsung menutup aksinya dengan mengikat kaki dan tangan pria itu dengan celemeknya di tambah taplak meja yang ada di ruangan itu.

Setelah yakin pria itu tidak bisa lagi bergerak karena terikat dan hampir pingsan, Ketenupun berlari keluar rumah sambil berteriak minta tolong kepada tetangga terdekat.  Selang beberapa menit kemudian, rumah majikan Ketenu telah dipenuhi oleh warga setempat dan beberapa orang polisi yang telah dihubungi oleh Ketua RT. Ketenu sempat kesal karena polisi-polisi itu bertanya kepadanya berulang-ulang bagaimana caranya dia melumpuhkan pria itu. Mungkin polisi-polisi itu tidak percaya Ketenu bisa melumpuhkan si pria dengan aksi-aksi heroiknya. "Kalau bapak mau, saya bisa praktekkan apa yang saya lakukan tadi kepada bapak," kata Ketenu dengan kesal. "Oh tidak perlu Mbak, cukup cukup, kami sudah paham sekarang," jawab si polisi dengan nada sedikit memohon. Si polisi tidak mau mengambil resiko tentu saja. Sejak saat itulah nama Ketenu ngetop di kelurahan bahkan di kota tempat dia tinggal. Dari mulai anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak tidak henti-hentinya membincangkan aksi heroik Ketenu. Hebatnya lagi, Ketenu sempat diundang oleh pihak kepolisian untuk mendemonstrasikan aksinya melumpuhkan pria malang yang masuk ke rumah majikannya itu di hadapan calon-calon polisi yang sedang menempuh pendidikan yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Ketenu.(LT)

 


14 December, 2012

Tips Untuk Backpacker ke Luar Negeri. TIKET

Istilah backpacker digunakan untuk mereka yang melakukan sebuah perjalanan wisata hanya dengan membawa tas punggung untuk membawa perlengkapan seadanya dan backpacker juga biasanya akan menekan biaya perjalanan alias berhemat. Dalam tulisan ini, aku hanya berbagi pengalaman pribadiku yang sangat sedikit ketika backpacking ke beberapa negara khususnya beberapa tips yang aku anggap sangat bermanfaat jika dilakukan. Tulisanku ini aku pisah-pisah dalam subjudul untuk memudahkan membaca tips yang dibutuhkan. 

Banyak orang langsung pesimis dan geger mendengar ide untuk jalan-jalan ke luar negeri. Yang ada di bayangan kita jalan-jalan ke luar negeri hanya angan-angan belaka karena terlalu mahal dan terlalu rumit sulit dilakukan. Hal ini mengubur impian kita dalam-dalam untuk bisa menginjakkan kaki ke negeri orang. Tapi menurutku semua itu tidak benar. Berwisata ke luar negeri tidaklah selalu semahal dan serumit yang dibayangkan oleh banyak orang. Aku sendiri telah melakukannya beberapa kali dan ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan sebelumnya. Untuk yang pertama ini aku membahas tentang tiket.

1. Cari tiket promo

Tiket tentu saja adalah hal utama yang harus kita butuhkan jika ingin backpacking ke luar negeri. Khususnya negara yang harus kita capai dengan pesawat. Memang kita bisa saja membeli tiket pesawat kapan kita mau, tapi artinya kita harus mempunyai uang yang cukup untuk membeli tiket dengan harga berapapun. Di musim liburan, harga tiket pesawat bisa melonjak tinggi karena banyaknya orang yang ingin melakukan perjalanan wisata ke luar negeri. Cara jitu untuk mendapatkan tiket dengan harga murah bahkan sangat murah adalah dengan memantau situs-situs maskapai penerbangan yang memberi tiket promo pada waktu-waktu tertentu. Harga promo yang diberikan bisa sangat murah dan sangat terjangkau.

2. Sesuaikan rencanakan perjalanan dengan jadwal tiket promo

Kebanyakan tiket promo akan dipromosikan jauh sebelum jadwal keberangkatan dan kita harus membelinya dan jauh-jauh hari kita harus segera membayarnya. Pembayaran dapat dilakukan dengan membayar langsung ke agen penjualan tiket pesawat atau dengan menggunakan kartu kredit. Resiko yang harus kita ambil adalah jika kita membayar tiket promo tersebut kita tidak bisa membatalkan pembelian apa lagi yang menggunakan kartu kredit. Artinya jika batal berangkat, uang pembelian tiket tersebut akan hangus. Oleh karena itu, matangkan rencana perjalanan kita sebelum kita membeli tiket promo. Beberapa maskapai penerbangan yang aku tahu sering menawarkan tiket promo adalah Air Asia, Tiger Airways. Kita tinggal mencari situsnya melalui google. Jadi, trik yang aku gunakan adalah aku menyesuaikan rencana perjalananku dengan tiket harga promo yang aku dapat agar aku bisa berhemat. LT

 

 

 

 

 

13 December, 2012

Lauk Perang

Hari ini Rabu, tanggal 12 bulan 12 tahun 2012. Tanpa bermaksud ikut-ikutan orang lain yang sengaja melakukan hal penting, aku merasa harus ada yang aku tulis meskipun ringan. Aku tidak akan bercerita tentang ramalan suku Maya atau paranormal tentang kiamat atau apalah. Aku hanya ingin berbagi cerita yang aku anggap seru yang terjadi di kantorku siang tadi.
Pelepah pisang sebagai alas makanan

Ada suatu kebiasaan yang aku anggap cukup unik di kantorku yang telah dilakukan berkali-kali semenjak kantorku ini berdiri. Unik karena aku merasa ritual ini tidak terlalu lazim dilaksanakan di kantor lain. Ritual itu adalah makan bersama di kantor yang dilakukan seluruh pegawai kantor dari mulai kepala kantor sampai ke satpam dan tenaga honor. Kalau hanya kegiatan makan bersama seperti pada umumnya, mungkin tidak ada yang unik yang perlu diceritakan. Tapi kegiatan makan bersama di kantorku ini benar-benar dilakukan bersama dengan cara membentang pelepah daun pisang sepanjang kira-kira tujuh atau delapan meter kemudian seluruh makanan dihampar rapi di atasnya. Kami juga tidak menggunakan kursi untuk duduk. Kami semua berdiri berhadap-hadapan dan makan menggunakan tangan, bukan berarti biasanya kami makan dengan kaki, maksudku, kami tidak menggunakan sendok dan garpu. 


Kebiasaan ini tidak memiliki agenda rutin, jadi kapanpun kami mau, kami tinggal patungan. Besarnya jumlah patungan tidak ditentukan alias sukarela, dan jika tidak patunganpun tetap boleh ikut patungan menghabiskan makanan yang ada. Di hari sebelumnya, ibu-ibu di kantor telah sibuk kasak-kusuk menentukan siapa harus memasak apa atau siapa harus membawa apa.  Makanan yang disediakan sederhana tapi bermacam-macam. Mulai dari nasi putih, ikan asin goreng, tahu dan tempe goreng, tumis bunga pucuk pepaya, tumis pare, beberapa jenis sambal, kerupuk, dan jengkol disambal dengan cabai hijau, Yang diketik belakangan salah satu kegemaran orang kantor, aku salah satunya. 



 Setelah semua makanan dihidang di atas pelepah pisang, kami berjejer rapi saling berhadapan di depan meja. Salah seorang teman memimpin doa. Mungkin doa kami tidak khusuk lagi karena kami berdoa sambil menunduk menghadap makanan yang sudah menunggu untuk kami serbu bahkan beberapa teman berdoa sambil mengunyah ikan asin atau tahu. Doa selesai dipanjatkan, pembantaianpun dimulai. Banyak hal yang menggelikan terjadi. Aku

biasanya mencari posisi strategis di samping teman yang bertubuh kurus dengan harapan porsi makannya tidak banyak. Tapi aku salah besar karena ternyata teman yang kurus ini makannya lebih banyak dari pada aku. Ada juga seorang ibu yang kegirangan ketemu sambal enak tidak pedas akhirnya mengandaskan sambal itu sendirian. Ada teman yang malang karena berdiri di samping pemegang gelar pemakan sejati, sehingga dia harus bergerilya pindah ke tempat lain karena masih lapar. Ada yang mencintai jengkol, jadi sebelum makan dimulai, dia sudah berdiri persis di depan gundukan sambal jengkol yang paling tinggi. Dalam waktu kurang lebih setengah jam, biasanya hampir semua makanan ludes disikat. 


Manis-manis ya, tapi anda tidak melihat ketika mereka makan.


Mungkin tidak ada yang terlalu istimewa dengan ritual makan sederhana ala perang ini. Tapi yang jelas bagiku, kegiatan ini memberiku kesempatan untuk bisa merasakan keakraban dan kebersamaan dengan teman-teman di kantor. Tidak ada yang merasa malu atau gengsi berebut makanan yang sama di tempat yang sama. Bagiku itu adalah sebuah pembelajaran yang sangat mahal yang diraih dari sesuatu yang sangat sederhana.  

Pejuang terakhir


 

10 December, 2012

Timur atau Barat? Episode 3

Musim dingin di Nijmegen

Awal musim dingin di Eropa adalah masa-masa penuh keluh kesah bagiku dan mungkin juga bagi kebanyakan orang-orang yang berasal dari negaraku. Tubuhku yang dokter bilang tidak terlalu kuat dan rentan terhadap perubahan cuaca, butuh waktu cukup lama untuk bisa beradaptasi dengan suhu dingin luar biasa yang bisa mencapai di bawah nol derajat Celcius. Selama hampir dua minggu, hidung dan mulutku mengeluarkan darah yang aku yakin penyebabnya adalah suhu dingin tersebut. Terkadang jika aku lupa membawa sarung tanganku ketika bersepeda menuju kampus, telapak tanganku akan mati rasa beberapa saat setibanya aku di kelas. Pernah sekali aku bereksperimen bodoh menaruh segelas air di luar jendela kamarku dan dalam waktu singkat air itupun membeku. Di saat-saat seperti itu, aku merasa beruntung dan beryukur aku berasal dari negaraku tercinta. Meskipun ada segudang atau mungkin dua gudang permasalahan yang kelihatannya tidak akan pernah bisa selesai, aku tetap bisa menikmati hangatnya sinar matahari yang terkadang sampai menggosongkan kulitku. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih sanggup menerima sengatan sinar matahari di negaraku dari pada harus menghadapi cuaca dingin ini. Jangan-jangan kalau aku diam di tempat terbuka beberapa jam aku benar-benar bisa membeku seperti es batu.  Namun seiring berjalannya waktu, tubuhku pun semakin kuat dan kebal dengan udara dingin menusuk tulang. Bahkan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di luar tentu saja dengan pakaian dinginku yang berlapis-lapis seperti kue lapis dan tebal seperti tembok baja.

      Salah satu kebiasaanku yang menurutku agak tidak lazim adalah menyusuri jalan-jalan di kotaku yang tidak aku kenal bermodalkan petunjuk arah dari Google Maps yang aku print. Tidak ada tujuan khusus dari kebiasaan itu. Aku hanya merasa senang dan puas menaklukkan ketakutanku yang terkadang berlebihan ketika tersesat di sebuah daerah yang tidak aku kenal. Keberhasilanku mengambil foto dan kembali ke apartemenku tanpa tersesat adalah suatu kebanggaan sederhana. Semua perburuanku itu aku lakukan dengan bersepeda tentu saja. Sepeda adalah transportasi utama di Belanda yang paling nyaman dan aman. Nyaman dan aman karena jalan-jalan di Belanda umumnya memiliki tiga jalur. Jalur utama untuk pengendara mobil, jalur kedua untuk pengendara sepeda, dan jalur ketiga untuk pejalan kaki. Aku sempat bertekad setibanya aku di Indonesia nanti, aku akan membeli sebuah sepeda dan aku akan bersepeda kemana-mana. Tapi tiba-tiba bayangan pengendara motor dan mobil di tempatku yang selalu seperti sedang ikut balap Formula 1 ditambah pedagang kali lima yang menggelar dagangannya sampai setengah badan jalan membuatku menempatkan niatku itu ke bagian paling bawah memoriku. 

Apartemenku (Willemsweg) di musim panas

    Suatu sore di musim dingin, sekitar pukul lima sore namun matahari sudah masuk lagi ke peraduannya, aku mengeluarkan sepedaku dari lantah bawah tanah apartemenku. Kali ini aku akan melaksanakan ekspedisi kecilku menemukan sebuah jalan yang bernama Medanstraat. Aku tidak menemukan penjelasan mengapa kata 'medan' dijadikan sebagai nama jalan di sini. Tapi yang pasti, aku ingin menemukan jalan itu dan mengbadikannya dengan kamera sederhanaku untuk kutunjukkan kepada teman-temanku sepulangnya aku nanti. Aku tahu bersepeda di musim dingin menyusuri jalan-jalan tertutup salju tipis yang mulai mencair ditambah lagi lumut basah yang menghiasi  bukan suatu kegiatan yang mudah. Permukaan jalan akan menjadi luar biasa licin sehingga kemungkinan ban sepedaku terpeleset dan tergelincir akan sangat mungkin terjadi. Tapi aku tetap melakukan misiku dengan janji aku akan sangat berhati-hati. 

Jalan di Belanda yang memiliki jalur tersendiri untuk pengendara sepeda.

 

     Akhirnya, sampailah aku di Medanstraat yang ternyata berdekatan dengan Atcehstraat, Borneostraat, dan Sumaterastraat. Aku belum sempat mencari penjelasan mengapa nama-nama berbau Indonesia itu digunakan sebagai nama jalan, tapi secara umum kita pasti tahu kita punya hubungan sejarah yang sangat panjang dengan Belanda. Akupun memotret papan nama jalan itu beberapa kali. Aku sempat berpikir apakah mungkin di sini banyak orang Batak sehingga mereka menamai jalan ini Medanstraat? Bah, tidak mungkin pula aku gedor pintu rumah-rumah warga di sini satu persatu-satu untuk membuktikan dugaan bodohku itu. Aku segera memasukkan kameraku ke dalam saku jaketku, malam semakin dingin. Aku mulai mengayuh sepedaku untuk kembali ke apartemenku. Ketika aku harus melewati sebuah bundaran untuk berbelok ke arah kiri, aku berbelok terlalu tajam dan akhirnya, seperti suara nangka busuk, aku terjatuh mendarat ke jalan yang licin dan punggung bagian bawahku yang menghantam jalan terlebih dahulu menampung seluruh berat tubuhku dan sepedaku. Seumur hidupku, baru saat itulah aku mengalami sakit yang sangat luar biasa pada bagian bawah punggung. Aku yakin tulangku retak. Karena sakit luar biasa, aku sampai berteriak keras, aduh! berkali-kali, tidak dalam bahasa Inggris atau bahasa Belanda karena aku tidak sempat lagi memikirkan apa padanan kata 'aduh' yang tepat. 

Borneostraat
Atcehstraat dan Medanstraat

     Untuk beberapa lama, aku tidak mampu berdiri dan hanya terbaring di jalan sambil mengerang kesakitan sambil berusaha menyingkirkan sepeda yang menghimpitku. Aku bingung mau berteriak minta tolong sama siapa, tidak ada orang yang melintas di jalan itu. Bodohnya lagi, aku berpikir, kalau aku meneriakkan kata 'tolong', apa ada yang akan mengerti dan menolong? Akhirnya aku putuskan meneriakkan kata 'help' beberapa kali, untuk sesaat aku merasa seperti sedang syuting film-film barat yang aku tonton tapi aku tidak peduli karena aku benar-benar butuh pertolongan. Aku tetap mencoba sekuat tenaga untuk duduk, saat itulah dari sebuah rumah yang berada paling dekat dengan posisiku terjatuh, keluar seorang wanita tua yang setelah aku lihat dengan jelas berumur tidak kurang dari lima puluh tahun berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku, rupanya teriakan 'help' tadi mebuahkan hasil. Wanita itu menyingkirkan sepeda dariku sambil bertanya dalam bahasa Belanda yang mudah-mudahan kalau tidak salah aku artikan "Ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja?" Dalam bahasa Inggris aku menjelaskan kepadanya sepedaku tergelincir di jalan yang sangat licin. Lalu dia berteriak memanggil seseorang dan keluarlah seorang lelaki tua yang aku yakin adalah suaminya. Sekilas mereka berbicara dalam bahasa Belanda kemudian sang suami bertanya kepadaku apa aku bisa berjalan. Aku menjawabnya dengan berdiri, pasangan suami istri itu dengan sigap meraih lengan kanan dan kiriku dan membuat aku merasa agak risih tapi sangat terharu. Sakit sekali rasanya ketika kuluruskan punggungku tapi aku tahu aku harus bisa berdiri, bisa panjang ceritanya kalau aku harus dirawat ke rumah sakit. 

     Aku pikir aku hanya akan dibiarkan berdiri oleh pasangan sumai istri itu kemudian aku akan berusaha meraih sepedaku untuk segera bergegas pulang walau aku tidak yakin aku masih bisa naik sepeda. Tapi suami istri itu justru memapah aku menuju kerumahnya sambil berkata kepadaku bahwa aku tidak boleh pulang dengan bersepeda dan mereka akan mengantarku ke apartemenku. Aku terkejut mendengar hal itu karena rasanya tidak mungkin mereka mau merepotkan diri untuk mengantarku pulang. Akupun menolak tawaran itu secara halus dengan mengatakan aku sudah merasa lebih baik setelah mencoba berjalan. Tapi mereka tidak peduli dengan penolakanku, aku dipapah masuk ke ruang tamu mereka dan diminta duduk di kursi mereka yang hangat dan nyaman. Setelah itu sang suami bergegas mengambil sepedaku yang masih di jalan sementara sang istri masuk ke ruangan di samping ruang tamu. Tidak lama kemudian sang suami duduk bersamaku dan sang istri muncul sambil membawa segelas teh hangat. Satu jam kami habiskan untuk mengobrol panjang lebar. Kebanyakan mereka bertanya tentang keluargaku, negaraku, dan kegiatanku di Belanda. Akhirnya aku mohon pamit kepada mereka untuk segera pulang. Mereka langsung bergegas mengambil jaket mereka dan membantuku keluar menuju sebuah mobil dengan bak terbuka yang diparkir di pinggir jalan. Aku dipersilahkan masuk ke bagian depan mobil sementara sang suami mengangkat sepedaku ke atas bak mobil. Kemudian mereka masuk ke dalam mobil dari sisi kiri dan kananku. 

     Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih berkali-kali yang sepertinya tidak terlalu mereka pedulikan ketika kami sampai di depan apartemenku. Untuk beberapa saat aku berdiri memandang mobil manusia-manusia baik itu benar-benar lenyap dari pandangan. Sekali lagi hati dan nuraniku dilanda kekeluan luar biasa di negara ini. Sedikitpun aku tidak pernah berpikir mereka akan menolong orang asing seperti aku yang berasal dari tanah antah berantah sampai sedemikian rupa tanpa rasa takut, sungkan, dan pamrih. Dalam hati aku memaksakan keyakinan bahwa aku pasti masih bisa menemukan orang-orang seperti itu di tanah tumpah darahku. (LT)

09 December, 2012

Curhat si Lampu Merah Gokil 2

Kembali lagi bersama saya si lampu merah ganteng yang nongkrong di Simpang 4 Pasar Kasang. Masih ingatkan? Ada banyak kejadian-kejadian aneh yang aku alami sampai-sampai aku lupa harus cerita yang mana lebih dahulu. Beberapa kejadian bahkan membuat aku ingin berteriak kepada orang-orang yang lewat untuk memindahkan aku ke lokasi lain yang menurutku akan lebih nyaman, di dekat taman misalnya atau di depan kafe misalnya. 

     Beberapa hari menjelang lebaran Idul Adha, pasar Kasang yang terletak persis di sebelah persimpangan tempat ku berdiri yang biasanya tidak terlalu ramai mendadak menjadi lebih hidup karena banyak pedagang dadakan yang biasanya tak berjualan ikut berpartisipasi mengais rejeki. Kebanyakan dari mereka menjual kebutuhan untuk merayakan hari raya seperti, sarang ketupat, bumbu-bumbu, dan tentu saja daging. yang kusebut terakhir inilah yang menjadi tantanganku dan teman-temanku yang lain. Satu minggu sebelum lebaran tiba, para pedagang daging musiman mulai berdatangan ke pasar Kasang secara berkelompok. Daging yang mereka bawa ke pasar masih dalam keadaan hidup alias belum disembelih karena akan terlalu dini jika mereka harus menyembelih hewan-hewan itu beberapa hari sebelum lebaran. Situasi inilah yang meninggalkan pengalaman yang tak terlupakan olehku.

     Para pedagang sapi dan kambing yang datang ke pasar Kasang harus mencari lokasi strategis untuk membuat kandang darurat bagi hewan ternak yang akan mereka jual. Para pedagang ini menjadi begitu kreatif membangun kandang-kandang itu. Mereka menyulap kayu dan atap rumbia sederhana menjadi istana nyaman buat kambing dan sapi mereka. Untuk kreatifitas itu aku harus angkat topi, kebetulan aku memang punya topi kecil penutup ketiga lampuku. Tapi satu hal yang membangkitkan amarahku adalah lokasi yang mereka pilih untuk mendirikan kandang-kandang tersebut. Mereka dengan seenaknya mendirikan kandang- kandang itu persis di dekat persimpangan yang jelas-jelas adalah daerah kekuasaanku dan teman-temanku. Aku masih beruntung karena berdiri di tengah dua ruas jalan sehingga tidak mungkin para pedang itu mendirikan kandang kambing di tengah jalan. Tapi dua temanku benar-benar kurang beruntung. Mereka berdiri persis di sebelah tanah kosong berumput yang merupaka lokasi paling strategis bagi para kambing dan sapi bersantai ria. 

     Hal pertama yang membuat teman-temanku mengumpat setiap saat yang hanya bisa didengar olehku dan teman-temanku yang lain adalah bau kotoran kecil dan besar yang diproduksi oleh kambing dan sapi itu membuat kami semua tidak bisa lagi menikmati udara segar. Para pemilik ternak tidak sedikitpun berinisiatif untuk membersihkan kandang-kandang itu mungkin dengan alasan  mereka tidak akan berlama-lama di situ. Tapi sungguh kasihan teman-temanku yang paling dekat dengan kandang-kandang itu. Sangking marahnya mereka, terkadang mereka menghidupkan lampu hijau, merah, dan kuning mereka sesuka hati mereka. Ketika aku menyalakan lampu hijauku yang otomatis memberikan kesempatan para pengendara melaju, temanku di sisi lain juga menyalakan lampu hijaunya sehingga kendaraan di sisi mereka juga melaju yang membuat kecelakaan hampir selalu terjadi dalam beberapa hari ini. 

     Suatu malam, ketika kami sudah mulai terlelap dalam keheningan malam, tiba-tiba seekor sapi terlepas dari kandangnya dan berjalan bingung ke arahku. teman-temanku berteriak kepadaku untuk memainkan ketiga lampuku agar sapi itu menjauh dariku. Akupun mengikuti saran teman-temanku. Tapi alih-alih membuat sapi itu menjauh, justru dia semakin tertarik mendekatiku. Mungkin dikiranya aku adalah mahluk cantik lawan jenisnya yang berusaha menarik perhatiannya dengan bermain mata. Sapi itupun semakin mendekatiku dan berada persis di sampingku. Perasaanku semakin tidak karuan antara takut dan risih. Sebelum aku bisa berpikir lebih lama, si sapi itu menggesek-gesekkan tubuhnya ke tubuhku, aku langsung berteriak sekeras-kerasnya agar dia menjauh dan tidak hanya sampai disitu, tiba-tiba sapi itu mengencingiku dan membuang hajat di bagian bawah tubuhku yang seketika menjadi hangat, basah, dan bau. Teman-temanku tergelak setengah mati sementara aku hanya bisa terdiam sembari memanjatkan do'a terdalam agar hujan segera turun.

08 December, 2012

Rice Cooker Goes International

Rice cooker yang aku bawa ke Belanda

Sudah lama aku ingin menulis tentang rice cooker. Dalam beberapa kali pengalamanku mendamparkan diri di negeri orang, rice cooker menjadi salah satu barang penting yang sangat membantuku. Mungkin ketika kita berada di zona aman kita dimana makanan adalah sesuatu yang mudah didapat karena dijual dimana-mana, rice cooker bukanlah suatu barang yang luar biasa. Tapi ketika makanan yang biasa kita makan adalah sesuatu yang cukup langka atau mahal, maka rice cooker bisa menjadi sangat penting.

     Pengalaman pertama aku dengan rice cooker adalah ketika aku menempuh pendidikanku S2 di Belanda. Sebagai seseorang yang hanya mendengar dan membaca di internet, aku cukup dibingungkan dengan segitu banyak informasi tentang pentingnya membawa rice cooker dari Indonesia. Alasan yang aku baca adalah karena rice cooker akan selalu bisa memberikan kita nasi yang merupakan makanan pokok sebagian besar orang Indonesia meskipun mengandung lebih banyak karbohidrat dibandingkan dengan makanan pokok lain. Namun ada juga yang mengatakan bahwa aku tidak usah repot-repot membawa rice cooker ke Belanda karena aku bisa membelinya di sana. Aku meminta pendapat dari sana sini terutama dari orang tuaku. Ketika aku bertanya kepada orang tuaku, aku tahu aku salah orang. Mereka pasti membayangkan anaknya akan mati kelaparan di negeri orang karena tidak ada nasi yang bisa dimakan.  Akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan rice cooker ke dalam koperku yang aku lihat seperti mau meledak karena ada begitu banyak barang yang aku masukkan.

     Akhirnya akupun menjejakkan kakiku di negeri kincir angin.  Seperti biasa, memulai sesuatu yang baru bukanlah sebuah hal yang mudah apa lagi memulai untuk hidup dan tinggal di sebuah negara yang benar-benar jauh dan berbeda dengan negaraku. Tapi aku selalu yakin bahwa semua akan bisa dijalani dengan baik. Aku ditempatkan di sebuah apartemen di lantai 2 di sebuah kota bernama Nijmegen. Ketika pertama kali kami masuk ke flat itu, kami diberikan beberapa peralatan dapur penting seperti sendok, garpu, piring, gelas, dan panci kecil. Geli aku ketika membayangkan bagaimana jika aku adalah salah satu dari  ibu-ibu rumah tangga di daerahku yang kebanyakan terbiasa memasak untuk keluarga yang porsinya bisa cukup untuk makan warga sekampung. Mereka pasti berteriak sambil mengatakan bahwa tidak akan bisa hidup lebih dari 1 minggu ke depan karena mereka tidak menemukan kuali besar untuk menumis atau menggoreng atau panci besar untuk menggulai atau batu penggilingan untuk menghasilkan sambal lezat yang katanya berbeda kelezatannya jika dihaluskan dengan blender. Tapi bagiku semua peralatan yang minim itu tidak terlalu berpengaruh karena aku tidak pandai memasak di Indonesia dan jujur saja aku cemas membayangkan apa yang aku makan nanti, besok, dan seterusnya. Ternyata kami memang tidak diberikan rice cooker. Sebenarnya ini bisa dipahami karena orang Belanda atau orang Eropa pada umumnya tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok mereka. Tapi aku pikir seharusnya panitia yang menyiapkan apartemen untuk kami bisa lebih peka karena tahu kami berasal dari negara pecinta karbohidrat sejati. Tapi akupun menyadari, sudah bagus aku dibiayai segini besar untuk bisa kuliah di sini, rasanya tidak pantas untuk mengeluh karena tidak diberikan rice cooker. Di samping itu, aku juga jadi terpikir untuk mengurangi makan nasi dan membujuk lidah kedaerahanku untuk makan roti atau kentang rebus yang katanya lebih sehat. Aku tidak yakin dengan niatku yang terakhir ini. 

     Singkat cerita, aku harus berterimakasih dengan semua yang mendukungku untuk membawa rice cooker ke Belanda. Memang hampir setiap hari aku makan nasi seperti biasa ditemani dengan lauk pauk sederhana yang rasanya jangan ditanya karena akan sulit aku jelaskan di sini sangking sulitnya aku menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Intinya, aku akhirnya bisa memasak beberapa jenis masakan. Beras impor dari Suriname, Thailand, atau India sangat mudah didapat di supermarket kecil atau besar di Belanda. Beberapa kali aku mencoba untuk makan roti saja dan tidak makan nasi, tapi aku merasa ada yang aneh di perutku. Akhirnya aku putuskan tetap makan roti tapi hanya sebagai kudapan pagi atau malam saja dan nasi tetap menjadi pilihanku dengan rice cooker sebagai penolongku. 

Kamar Hotel di Paris, rice cookernya tidak kelihatan, tapi sebenarnya para ibu-ibunya sedang memasak mi instan dengan rice cooker itu.

     Pada kesempatan kedua, ketika aku dan teman-temanku pergi ke Paris, rice cooker kembali menjadi pahlwan sejati kami. Kami hanya menghabiskan sekitar 3 hari di Paris dan tentu saja bagi kami salah satu tantangan utama kami adalah makanan. Tentu saja ada banyak restoran yang menawarkan beragam makanan lezat. Tapi ada beberapa hal yang harus kami pertimbangkan. Pertama, kami harus irit dalam penggunaan uang. Masuk ke restoran berarti kami harus menyiapkan uang yang cukup sementara sebagai mahasiswa yang rata-rata adalah penerima beasiswa, kami harus pintar menjaga pengeluaran kami. Kedua, kami juga tidak bisa makan apa saja dan di mana saja kami mau karena agama dan keyakinan yang kami anut. Aku harus mengacungkan jempol kepada teman-temanku yang perempuan. Jauh sebelum mereka berangkat, mereka telah berbagi tugas untuk membawa bekal makanan yang cukup tahan beberapa hari. Ada yang memasak rendang daging lezat. Ada yang membawa sambal tempe yang hanya membayangkannya saja mampu membuat liurku mencair. Mereka juga membawa beberapa bungkus mi instan yang sebenarnya membuatku bingung, bagaimana cara memasak mi instan itu nanti di kamar hotel? Apakah hotel akan menyediakan kompor dan panci seperti hotel-hotel di Indonesia? Jujur aku tidak tahu. Dua benda terakhir yang mereka siapkan adalah rice cooker besar dan beras. Untuk dua benda terakhir ini aku mengacungkan jempolku kepada teman-temanku karena tentu saja nasi akan menjadi makanan utama yang akan membuat kami aman bertahan selama kami berada di sana. 

Aku sedang menikmati sisa nasi, rendang, dan sambal tempe jatah temanku yang di sebelah kananku yang akhirnya membuat dia masuk angin dan muntah-muntah karena kelaparan. (maaf ya mbak)

     Kamipun berhasil menjejakkan kaki di Paris, Perancis. Semua perbekalan yang disiapkan oleh teman-temanku memang terbukti mampu membuat kami berhemat dan tetap bisa makan enak. Bahkan bekal kami habis sebelum kami pulang ke Belanda. Suatu saat aku tidak bisa menahan lapar ketika kami menikmati indahnya kota Paris, aku meminta bekal temanku yang memang sengaja membawa bekal karena dia menderita maag dan harus mengisi perut setiap saat. Hasilnya temanku itu muntah-muntah dan masuk angin karena perutnya kosong sementara bekalnya habis aku makan.  Masalah mi instan yang aku pertanyakan, ternyata mudah saja solusinya. Teman-teman yang perempuan merebus mi itu menggunakan rice cooker yang kami gunakan untuk memasak nasi. Ide cerdas itu tidak melintas di pikiranku sebelumnya. Aku tidak terpikir bahwa rice cooker mampu merebus air yang bisa digunakan untuk merebus mi. Sekali lagi rice cooker tampil sebagai pahlawan internasional.

     Rice cooker kembali menjadi pahlawan yang memberikan sumbangsih besar untuk perjalananku. Terakhir aku melakukan perjalanan murah ke beberapa negara asia tenggara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, dan Kamboja. Aku melakukan perjalanan itu dengan tiga orang temanku dan aku dengan semangat berbagi pengalamanku ketika aku ke Paris membawa bekal makanan dan rice cooker. Awalnya semua mencibir dan berkata bahwa situasi di Eropa berbeda dengan di negara-negara asia tenggara yang relatif memiliki makanan yang hampir sama dengan makanan Indonesia. Tapi aku berhasil meyakinkan teman-temanku bahwa mencari makanan yang halal di negara-negara lain tidak akan semudah dibandingkan dengan di Indonesia. Akhirnya kamipun memutuskan untuk membawa rendang yang menjadi andalan kami, sebagai informasi, rendang telah dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia oleh salah satu lembaga survey. Kemudian kami membawa sambal ikan teri dicampur dengan kacang tanah, dan kentang yang diiris tipis dan digoreng kering. Untuk makanan yang satu ini, aku merasa sangat senang karena sebenarnya itu adalah permintaan pribadiku. Tentu saja kami tidak lupa membawa beberapa bungkus mi instan, beras, dan rice cooker sang pahlawan. Aku kembali diprotes ketika aku mengusulkan untuk membawa beras yang pasti akan mudah diperoleh di negara-negara lain di asia tenggara tapi aku bersikeras untuk membawanya sekedar untuk berjaga-jaga jika kami berada pada situasi kami tidak bisa menemukan makanan yang bisa kami makan. Rice cookerku yang berukuran kecilpun dibawa dan orang yang beruntung membawa rice cooker itu adalah temanku yang berbadan paling pendek di antara kami tapi membawa tas dengan ukuran paling besar hampir sama besar dengan ukuran tubuhnya.  Awalnya dia mencak-mencak menolak untuk membawa rice cooker itu, tapi kami berhasil meyakinkan dia atau lebih tepatnya menakut-nakuti dia bahwa di Kamboja tidak ada makanan yang bisa dimakan sementara dia pernah bilang kalau dia harus makan nasi setiap hari. 

     Sesampainya kami di Malaysia, bekal makanan yang kami bawa sudah langsung melaksanakan tugasnya dengan baik. Kami tiba di bandara Kuala Lumpur di sore hari dan kami kelaparan. Kamipun memutuskan untuk mencari restoran siap saji berlabel halal. Baru sekitar dua atau tiga suap teman-temanku menyantap makanan yang kami pesan, mereka berpandang-pandangan penuh arti sejenak, lalu semua pandangan mereka yang berubah menjadi sedikit buas, beralih ke tas punggung temanku yang menyimpan bungkusan rendang. Dapat ditebak, beberapa menit berikutnya, bungkusan rendang telah terbuka dan menyusut isinya sampai setengah. 

     Semua makanan dan rice cooker yang kami bawa memang benar-benar memberi kami kemudahan yang luar biasa. Ketika kami tiba di Siam Reap, Kamboja, kami dilanda kelaparan yang cukup serius setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia, Malaysia, dan Kamboja dan ingin segera makan tanpa harus berpikir harus membeli apa dan dimana. Maka keluarlah kembali senjata pamungkas yang kami bawa. Setelah masuk ke kamar hotel, kami memasak nasi dengan rice cooker yang kami bawa dan setelah nasi tanak, kami makan dengan tertawa seru sambil berebut sambal terasi instan yang kami bawa. Keesokan paginya, sebelum menuju Angkor Wat, komplek candi yang termasyur di dunia itu, kami pun menikmati sarapan mi instan rebus yang kami rebus di rice cooker. Tidak ketinggalan kami membawa bekal nasi dan lauk yang masih tersisa untuk makan siang kami di Angkor Wat. Tidak ada lagi yang memprotes keputusan kami membawa rice cooker, yang ada adalah semua bekal makanan yang kami bawa menyusut drastis bahkan sebelum kami sampai di Thailand dan Singapura.

 

 

 

 

 

 

07 December, 2012

Timur atau Barat? Episode 2

Lapangan Tennis De Bongerd

Tenis adalah olahraga favoritku dari aku kecil sampai sekarang. Dulunya aku hanya bisa menyaksikan pertandingan tenis di televisi pemerintah. Itupun kalau aku beruntung, soalnya jarang sekali pertandingan tenis disiarkan karena kalah pamor oleh sepakbola ataupun bulutangkis. Baru ketika aku bekerja di kantor pemerintah yang kebetulan berlokasi di depan kompleks lapangan tenis, aku benar-benar bisa merasakan bermain tenis. membayangkan masa itu aku pasti suka terrtawa sendiri. Aku masih ingat bagaimana hampir setiap siang pada jam istirahat kantor aku memaksa beberapa orang teman kantorku untuk masuk ke dalam kompleks lapangan tenis dan bermain tenis apa adanya. Yang aku maksud apa adanya adalah kami bermain dengan kemeja dan celana kantor tergulung dan tanpa sepatu alias bertelanjang kaki dan yang paling seru adalah kami harus masuk melewati pagar kawat yang kebetulan berlobang. Tapi jangan berburuk sangka dulu, bukan kami yang melobanginya.  Di siang hari kompleks itu terkunci dan tidak ada petugas yang menjaga. Raket yang kami pakaipun sangat seadanya dan jujur saja aku lupa raket siapa yang aku pakai dulu, yang aku ingat selalu ada raket-raket tua yang tersimpan di kantor. Ternyata banyak hal yang memalukan tentang sejarah awal aku bermain tenis. Hal lain adalah kami tidak pernah membeli bola tenis yang relatif mahal, alhasil sebelum bermain tenis, kami merumput dulu, alias mencari bola-bola bekas pemain tenis yang biasanya latihan di lapangan secara rutin. Bola-bola ini bersembunyi di balik tebalnya rumput kompleks lapangan yang luput dari penglihatan penjaga bola. 

     Masih ada beberapa hal lain yang tidak tahan untuk tidak kutuliskan tentang pengalaman pertamaku bermain tenis. Karena kami bermain saat jam istirahat kantor ketika matahari sedang eloknya mengumbar sinar panasnya kemana-mana, maka badan kamipun berbelang dua. Setiap aku bercermin dan membuka baju, akan terlihat bagian siku ke bawah dan bagian muka sampai lingkar sekitar leher berwarna cukup kontras dengan bagian tubuh lain. Agak susah menemukan warna apa yang tepat tapi yang pasti warnanya kelam alias agak gosong.  Yang terakhir adalah tentang gaya permainan tenisku. Aku tidak pernah benar-benar berlatih tenis dengan seorang pelatih karena biayanya cukup mahal alhasil aku hanya menggunakan instingku dari mulai cara memegang gagang raket yang tidak benar sehingga membuatku sering merasa nyeri setelah bermain, kemudia caraku memukul bola yang kadang-kadang aku rasa lebih mirip gerakan tarian daerah, sampai gaya servisku yang mirip dengan servis bulutangkis. Kenyataan ini membuat gaya permainan tenisku berbeda dengan permainan tenis yang standar dan berlanjut sampai sekarang. Meskipun demikian, aku masih bisa mengimbangi permainan rekan-rekanku yang tergabung dalam sebuah klub tenis.

     Kegilaanku bermain tenis berlanjut sampai ke Belanda. Aku mempunyai seorang teman yang tinggal di kota Wageningen yang tidak terlalu jauh dari kota tempatku kuliah, Nijmegen. Dua bulan terakhir setelah aku menyelesaikan tesisku, aku memutuskan untuk bergabung dengan temanku tinggal di Wageningen. Alasan pertama tentu saja agar aku bisa berhemat karena aku dan temanku membayar sewa satu kamar. Alasan kedua tentu saja karena kompleks lapangan tenis yang menurutku sangat bagus. Bornsesteeg, flat mahasiswa tempat temanku tinggal berada tidak jauh dari komplek lapangan tenis yang dalam ukuranku luar biasa bagus. Kompleks ini memiliki tiga lapangan beralaskan rumput sintetis yang sangat mirip dengan rumput sebenarnya dan tiga lapangan tanah liat yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di televisi. 

    Hampir setiap sore aku dan teman-temanku yang rata-rata mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S2 atau S3 di universitas Wageningen bermain tenis. Tenis adalah salah satu cara yang cukup ampuh untuk mengurangi stress yang disebabkan oleh tugas kuliah. Idealnya kami harus menggunakan sport card untuk bisa menggunakan lapngan tenis, tapi tidak semua memiliki kartu tersebut kami harus membayar beberapa euro jika ingin memilikinya, termasuk aku. Jadi yang kami lakukan adalah mengintai gedung de Bongerd yang menjadi gedung utama kompleks olaraga tersebut. Biasanya ada seorang pria tua yang berjaga di sana. Setelah memastikan pak tua tidak ada di tempat, kami pun masuk ke area lapangan tenis dan mulai bermain.  Tindakan ini tidak boleh dicontoh tapi karena kami semua tergila-gila dengan tenis jadi terkadang kami mengabaikannya.

       Suatu sore di musim panas ketika matahari menjadi sesuatu yang sangat dicintai oleh mereka yang tinggal di negara 4 musim, kami memutuskan untuk bermain tenis di de Bongerd. Kebetulan tidak ada kelompok mahasiswa dari negara lain yang bermain sore itu jadi praktis aku dan ketiga temanku bisa bermain sepuas hati. Kami bermain tenis dengan serius tapi penuh tawa menertawakan gaya kami bermain yang kadang lebih sering memukul bola keluar garis lapangan atau menyangkut di net. Suatu ketika seorang temanku memukul bola ke atas sehingga bolapun meluncur deras melewati pagar kawat pembatas yang aku perkirakan tingginya lebih dari enam meter. Tidak banyak bola yang kami punya jadi kamipun berhenti sesaat untuk mengintip dari celah-celah pohon-pohon yang ditanam di luar bagian pagar kawat. Kami dapat melihat dengan jelas bola itu mendarat di area berumput di seberang jalan yang terbentang di antara kompleks lapangan tenis dan bagian samping gedung de Bongerd. Kami tahu salah satu dari kami harus berinisiatif mengambil bola itu. Tapi membayangkan kami harus keluar dari pintu kompleks yang terletak di ujung kompleks dan berjalan memutari setengah kompleks itu, kami berempatpun seperti kehilangan inisiatif untuk mengambilnya. 

Tapi belum sempat kami memaksa teman kami yang telah memukul bola itu keluar untuk mengambil bola di luar, kami melihat sebuah mobil sedan hitam mulus yang menurutku adalah sebuah sedan yang sangat mewah berhenti di pinggir jalan persis di dekat bola kami yang dipukul keluar oleh salah seorang teman kami tadi. Pintu sedan bagian kiri depan terbuka dan keluarlah seorang wanita berambut pirang dengan gaun pesta berwarna biru perak terang dengan sepatu berhak tinggi berwarna perak pula. Wanita itu tidak melihat ke arah kami dan dengan anggunnya dia berjalan melintasi halaman rumput di sebelah jalan dan memungut bola kami. Kemudian dia berjalan mendekati kompleks lapangan persis di dekat kami yang masih ternganga di dua bagian, yaitu mulut dan mata. Wanita itu lalu melempar bola itu ke dalam lapangan sambil berteriak ramah "goedemiddag!" yang artinya selamat sore kemudian dia masuk kembali ke mobilnya menyisakan bagian punggung terbukanya untuk kami lihat yang ternyata tidak kebagian bahan gaun birunya yang panjang sampai ke tanah dan tak lama mobilnyapun lenyap dari pandangan mata kami.

     Beberapa saat kami tidak mengucapkan sepatah katapun, kami hanya saling berpandang-pandangan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Awalnya secara pribadi, aku bertanya kepada diriku sendiri, akankah aku melakukan hal yang sama jika aku sedang menyetir lengkap dengan setelan rapiku dan melihat bola di pinggir jalan? Agak susah aku menjawabnya karena aku tidak bisa menyetir. Kedua, adakah orang sebaik wanita itu di negaraku? Kemudian baru aku perpikir hal lain yang lebih penting mungkin. Aku yakin kami memikirkan dua hal yang sama, yang pertama, betapa cantik dan seksinya wanita tadi, kedua, betapa berlebihannya wanita itu rela mau turun dari mobilnya dan mengambilkan bola gundul yang sudah kami pakai berkali-kali itu. Hal ketiga yang kami pikirkan yaitu mudah-mudahan lain waktu ketika kami memukul bola tenis itu keluar dari lapangan secara sengaja atau tidak, wanita itu akan muncul lagi dan mengambilkannya untuk kami atau bahkan akhirnya dia mau bermain tenis bersama kami.

    

 

 

 

 

 

05 December, 2012

Timur atau Barat? Episode 1

Waktu aku duduk di bangku sekolah, seringkali guru-guruku mengulang-ngulang frasa 'budaya timur. Guru-guruku selalu bilang bahwa Indonesia negaraku adalah salah satu negara yang terkenal dengan adat ketimurannya yang cukup dikenal di dunia. Pemahamanku adalah budaya merupakan cara hidup sekelompok manusia yang selalu berkembang dari waktu ke waktu dan diikuti oleh orang-orang yang berada dalam kelompok tersebut. Namun seiring berjalannya waktu dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan, pergeseran nilai-nilai budaya yang ada dalam sebuah kelompok tertentu tidak dapat dihindari. Hal ini terkadang menimbulkan benturan di dalam kelompok masyarakat tersebut. Benturan yang sangat mungkin terjadi adalah ketika segelintir orang dalam kelompok masyarakat tertentu merasa nilai-nilai budaya yang selama ini mereka agung-agungkan dan mereka anggap benar tidak lagi dipraktekkan atau digunakan oleh segelintir orang yang berasal dari kelompok yang sama. Pertanyaannya adalah, apakah mereka yang selalu patuh dengan nilai budaya mereka berhak untuk menghakimi mereka yang mengabaikan nilai budaya tersebut?

Aku tidak akan memperdebatkan masalah yang aku kemukakan di atas. Aku hanya ingin sedikit membuka sebuah wacana yang aku anggap sederhana tapi menarik dan terabaikan olehku. Aku terbiasa didengung-dengungkan dengan konsep budaya timur yang agung, baik dan patut dibanggakan. Beberapa bentuk adat ketimuran yang aku tahu adalah, toleransi kepada orang lain terutama orang yang kekurangan seperti cacat fisik, atau orang yang lebih tua dari kita. Kemudian kebiasaan gotong royong melakukan suatu kegiatan bersama-sama. Jujur saja aku merasa bangga dengan budaya timur seperti yang aku sebutkan di atas. Alangkah indahnya ketika kita bisa menolong atau bertenggang rasa dengan orang yang memiliki keterbatasan atau butuh pertolongan kita. Selain itu, bukankah itu juga dianjurkan oleh agama-agama yang ada di muka bumi ini?

          Namun ketika aku berkesempatan untuk hidup singkat di sebuah negara di Eropa yaitu Belanda yang pada awalnya aku cukup yakin aku tidak akan bisa menemukan orang-orang yang bergotong royong membersihkan jalan misalnya, atau orang-orang yang mendirikan tenda di rumah seseorang yang sedang memiliki hajatan atau ditimpa musibah, atau anak-anak yang mencium tangan orang tuanya ketika mau pergi ke sekolah, aku justru dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang mengguncang dan menampar hati dan mukaku. Beberapa kali dalam kekeluan lidahku aku berpikir mungkin aku sedang berada di negaraku beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu.

Pada suatu hari aku harus menuju kampusku tercinta Radboud Universiteit di Nijmegen dari Ede-Wageningen, kota tempat aku tinggal dua bulan terakhir sebelum aku balik ke Indonesia. Seperti biasa aku harus bertemu dengan pembimbing tesisku yang sama seperti orang lain di negara itu yang tidak suka menunggu dan selalu tepat waktu. Bis yang membawaku dari apartemen mahasiswa Bornsesteeg menuju stasiun Ede-Wageningen tiba tepat waktu. Setelah membeli tiket kereta, akupun bergegas menaiki tangga yang menghubungkan lantai dasar stasiun dengan tempat para penumpang menunggu dan menaiki kereta. Sudah ada beberapa orang yang menunggu di stasiun itu. Ada sepasang pria dan wanita berumur yang tengah menikmati hangatnya kopi di tengah musim gugur yang mulai menusuk tulang ini. Aku juga melihat seorang perempuan tua yang duduk di atas kursi roda sedang membaca koran berbahasa Belanda. Tiba-tiba dalam hati aku melemparkan pertanyaan kepada diriku sendiri, bagaimana caranya wanita ini naik ke kereta nanti? Setahu aku, posisi lantai kereta lebih tinggi alias tidak sejajar dengan lantai stasiun ini jadi tidak mungkin dia bisa menaiki kereta dengan kursi rodanya. Tapi aku hapus pertanyaan dalam benakku yang tidak penting itu. Stasiun ini terbagi dua jalur yang dilewati kereta-kereta dengan arah yang berlawanan. Aku pun memilih sisi yang akan dilewati oleh kereta yang akan membawaku ke kota Arnhem dan Nijmegen. Aku sempat celingak celinguk untuk mencari posisi yang nyaman untuk menunggu kereta sambil mendengarkan musik dari headset yang terhubung dengan telepon genggamku. Akhirnya aku memilih untuk berdiri di dekat tiang stasiun tidak jauh dari sekelompok anak muda yang kelihatannya adalah anak-anak Belanda yang baru pulang dari sekolah. Aku cukup yakin mereka orang Belanda dari bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan. Mereka mengobrol santai sambil sekali-sekali tertawa dan berteriak. Aku sedikit terganggu dengan mereka karena teriakan-teriakan mereka cukup membuatku tidak nyaman, tapi aku berusaha untuk tidak peduli dan mengeraskan volume musik teleponku.

Bunyi gemuruh suara kereta terdengar semakin jelas mengalahkan bunyi headsetku. Tak lama setelah itu muncullah si kuning panjang kereta kebanggaan Belanda dari arah Arnhem yang semakin perlahan mendekati stasiun dan akhirnya berhenti sama sekali. Kereta ini akan menuju Amsterdam jadi berhenti di jalur di belakangku yang berlawanan arah dengan jalur tujuanku. Timbul rasa penasaranku ingin melihat bagaimana si wanita dengan kursi roda yang mengusik pikiranku tadi naik ke kereta, aku membalikkan badanku persis ketika kereta benar-benar berhenti. Pintu-pintu kereta itu pun terbuka secara otomatis dan  tertulis atau tidak, penumpang yang turun dari kereta lebih dahulu turun sementara penumpang yang akan naik ke kereta menuggu dengan sabar. Aku melihat wanita di kursi roda tadi perlahan menggerakkan kursi rodanya mendekati pintu kereta terdekat yang kebetulan kosong karena tidak ada penumpang yang turun atau akan naik. Terlihat seorang petugas kereta yang turun dari pintu lain berjalan ke arah wanita itu. Hatiku kembali bergumam, si petugas itu cuma sendirian, tidak mungkin dia mampu mengangkat wanita dan kursi rodanya itu. Belum sempat aku menyelesaikan gumamanku, dari sudut mataku terlihat kelompok remaja Belanda yang sempat membuatku sedikit terganggu karena beberapa kali berteriak-teriak dan tertawa ngakak berjalan atau boleh dibilang setengah berlari menuju ke arah wanita berkursi roda yang akan naik ke kereta itu. Sambil terus bercanda dan ngobrol satu sama lain mereka saling berebutan mengangkat kursi roda dan wanita yang duduk di atasnya mendahului petugas kereta yang akhirnya hanya bediri di samping mereka. Setelah si wanita mendarat dengan selamat ke dalam kereta, remaja-remaja tadi kembali ke tempat mereka semula sambil terus mengobrol seru dan tertawa-tawa dan aku yakin tidak sedikitpun mereka membahas wanita dan kursi roda yang baru saja mereka angkat ke kereta tadi, seolah-olah mereka tidak melakukan sesuatu yang penting dan patut diperbincangkan.

Aku berusaha untuk tidak melihat ke arah mereka karena aku tidak mau mereka melihat mukaku yang rasanya baru saja kena terpaan awan panas alias wedus gembel dari gunung yang sedang meletus. Headsetku masih melantunkan lagu-lagu yang ada dalam telepon genggamku tapi aku tidak bisa lagi mencerna satupun kata-kata yang ada dalam nyanyian yang aku dengar. Sesaat aku merasa nuraniku menghakimiku lahir batin. Aku yang selama ini selalu merasa punya otak cukup cerdas hanya mampu berpikir bagaimana caranya si wanita dengan kursi roda itu naik ke kereta. Tapi ternyata hatiku tidak cukup cerdas untuk berpikir bahwa aku seharusnya bisa membantu mengangkat wanita itu. Mengapa sedikitpun aku tidak tergerak untuk membantu wanita itu? Apakah membantu orang lain yang memilki keterbatasan itu bukan bagian dari budayaku? Apakah secara individu aku memang tidak memilki kepekaan untuk membantu orang lain yang membutuhkan? Apakah karena aku sedang berada di sebuah negara yang awalnya aku anggap jauh dari nilai-nilai budaya tolong-menolong jadi aku merasa aku tidak perlu terlalu peduli dengan orang lain? atau apa memang sebenarnya aku memang tidak peduli? Semua pikiranku buyar ketika bunyi peluit kereta yang akan menuju Arnhem dan Nijmegen melengking mengagetkanku dan pintu-pintu keretapun tertutup. Entah kapan datangnya kereta ini tapi yang pasti aku ketinggalan kereta dan aku akan terlambat bertemu dengan profesor pembimbing tesisku karena harus menunggu kereta selanjutnya. Aku masih sempat melihat remaja-remaja Belanda tadi melanjutkan canda mereka lewat kaca jendela kereta yang bening.(LT)