Translate

04 February, 2013

Rumah Batu Jambi (Semoga bukan rindu yang berkelebihan)


20130101_154931(1)Hujan beberapa hari ini terlalu banyak. Batangharipun tak mampu menampung  semua air hingga akhirnya membaginya  dengan bagian bawah rumah –rumah di sepanjang tepiannya. Biarlah, mungkin air itu merindu dendam dengan rumah-rumah itu. Toh ia cuma mampir setahun sekali.  Ia hanya sekedar mengintip dari celah-celah lantai papan mencuri dengar celoteh anak-anak  yang berkeluh kesah tentang sulitnya ujian hari ini atau omelan panjang pendek ibu-ibu rumah tangga tentang mahalnya harga bahan makanan saat ini.
20130101_155007Namun ternyata air tidak tega menyentuh rumah yang satu ini. Ia hanya berhenti sampai di pinggir gerbang rumah berkepala naga yang kokoh nan tua. Mereka berdua pasti sahabat lama, walau hanya berjumpa setahun sekali atau lebih, air akan selalu kembali menghampiri si gerbang untuk berbincang beberapa hari. Aku yakin, mereka berdua pasti sibuk bercengkerama mengenang masa lalu sekitar dua ratus tahun yang lalu ketika rumah milik si gerbang masih indah terjaga. Kemana gerbang-gerbang lain? Mereka lebih memilih bersahabat dengan jalan-jalan modern yang dibangun di depan sana. Mereka memilih membelakangi air, menyisakan kakus dan dan kamar mandi saja yang menjadi sahabatnya. Tapi tidak mengapa, air mau saja bersahabat dengan apapun selama mereka saling menghormati tapi ketika air hanya dijadikan sarana pembuangan, dia juga bisa marah, seperti kita. Ketika air marah, dia bisa naik sampai ke lantai-lantai rumah mencari penghuninya untuk diajak bicara.
20130101_154828Kutebarkan pandanganku ke rumah yang bertengger kokoh menghadap sungai sungai Batanghari itu. Ingatanku terbang ke beberapa tahun yang lalu ketika aku sempat tinggal di Belanda. Sebegitu bangga dan cintanya rakyatnya dengan sungai atau kanal yang kebanyakan mereka buat paksa. Rumah dan gedung-gedung modern dibangun menghadap ke sungai dan kanal itu. Jalan-jalan dibentang sebagai pembatas antara rumah mereka dan kanal. Taman-taman indah nan sederhana dengan kursi-kursi ditata menghadap ke sungai atau kanal. Di sore hari dan petang hari orang-orang menikmati secangkir kopi hangat menikmati senggang di senja tepi sungai temaram.  Siapa yang ingin menampik keindahan itu? Kita. Hampir semua rumah di daerah ini sekarang hanya menyisakan punggung mereka kepada sungai.
Rumah batu ini sekarang sunyi. Tiada denyut ditemui. Dinding batu lantai dasar telah terkelupas di sana-sini, meninggalkan pecahan keramik yang dulunya digunakan sebagai ornamen dinding. Bagian lantai dua bahkan lebih parah karena terbuat dari kayu yang tak sanggup menahan gempuran waktu yang datang panjang tak terbendung  menyisakan  lapuk dan rapuh. Beberapa alat masak kuno seperti kuali besar teronggok di dalam ruangan. Kudengar rumah ini telah dijadikan sebagai cagar budaya. Tapi cukupkah status itu? Hanya sebatas itukah yang bisa kita dilakukan?
20130101_154754Semoga bukan sebuah rindu yang berkelebihan, jika memang rumah batu ini rindu bercerita tentang sejarah Jambi Seberang, berikanlah ia kelayakan untuk bisa tetap berdiri kokoh sembari melanjutkan persahabatan abadinya dengan Batanghari dengan saling bertegur sapa di pagi hari. Biarkanlah dinding-dinding batunya berceloteh panjang lebar tentang keindahan sejarah Jambi yang tak berlekang waktu. Suatu saat jika mampu, biarlah aku saja yang mengumpulkan keping-keping rindunya, tentang suatu masa, ketika ia indah tapi bersahaja. Semoga bukan sebuah rindu yang berkelebihan.

Rumah Kolonel Abunjani



2013-01-03 23.43.25“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Terlalu sering kita mendengar atau membaca kalimat ini terutama di momen perayaan hari Pahlawan dan hari kemerdekaan Indonesia. Memang sudah seharusnya kita selalu ingat dan mengormati jasa orang-orang hebat masa lalu yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini karena tanpa pengorbanan mereka, kita tidak akan dapat mengecap manisnya hidup merdeka seperti sekarang. Namun pada kenyataannya kalimat bijak itu sering berakhir di batas wacana diskusi belaka. Pengabaian masih terjadi kepada mereka yang dulunya mempertaruhkan jiwa raga untuk meraih kemerdekaan.  Baru-baru ini aku berkunjung ke sebuah tempat yang menyimpan sepenggal sejarah dan budaya tak ternilai yang dapat dijadikan teladan oleh generasi muda, milik seorang tokoh besar, pahlawan nasional Indonesia asal Jambi bernama Kolonel Abundjani . Sekelumit kisah perjuangan almarhum Kolonel Abundjani bisa dilihat di http://museumperjuanganrakyatjambi.blogspot.com/2012/07/dialog-sejarah.html.
Menurutku, rumah peninggalan almarhum Kolonel Abundjani ini memiliki nilai pembelajaran yang sangat berharga dan penting untuk kita pelajari. Kiprah Kolonel Abundjani sebagai seorang pejuang Indonesia dan sebagai seorang pengusaha hebat di zamannya dapat kita gali dan pelajari di rumah elok ini. Namun setakat ini, sejauh yang aku tahu, rumah ini terbengkalai tidak mendapat perhatian. Aku tidak terlalu paham apa alasan pemerintah tidak berinisiatif mengambil alih untuk melestarikan rumah ini. Apakah rumah ini tidak pantas untuk dijadikan sebagai aset warisan sejarah dan budaya?  Aku tidak tahu jawabannya. Yang jelas, aku pribadi merasa rumah ini menyimpan begitu banyak hal yang bisa aku pelajari, dari mulai tentang perjuangan rakyat Jambi yang dipimpin oleh Kolonel Abundjani sampai dengan benda-benda bernilai seni tinggi yang bisa dijumpai di rumah tersebut. Untuk itu, aku mengajak kalian yang tertarik untuk masuk dan menikmati keindahan rumah tersebut. Satu hal yang sangat merisaukanku adalah rumah ini akan segera dijual kepada pihak manapun yang tertarik untuk membeli,  dan berdasarkan informasi dari keturunan langsung Kolonel Abundjani, ada beberapa pihak swasta dan asing yang tertarik untuk membeli lahan rumah ini. Mereka akan menghancurkan rumah ini, meratakannya dengan tanah karena mereka tidak tertarik dengan nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di rumah itu. Mereka hanya menginginkan lahan rumah yang tentu saja sangat strategis karena berlokasi tepat di daerah pusat perkantoran pemerintahan Provinsi Jambi.

rmh utama bagusJumat, 4 Januari, langkah ini terjejak di sebuah rumah yang menghamburkan begitu banyak informasi yang memang ingin kudapat setelah sekian lama.    Sejak awal, rumah ini membuatku dan temanku, Oddie kewalahan menghadapai ribuan pertanyaan yang berhamburan dari alam pikiran kami masing-masing tanpa sempat mendapat dan memberi jawab. Rumah almarhum Kolonel Abundjani, orang hebat Jambi yang pernah pada suatu ketika turut serta mempersiapkan negeri ini menjadi sebuah negara merdeka  yang bisa kita nikmati sekarang dan nanti. Selama ini sebagai anak Jambi aku hanya sebatas melintas di depan rumah besar itu dengan kecamuk tanya tanpa ada niat untuk mencari jawab. Tapi hari itu akhirnya hampir semua tanya terjawab diiringi dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih banyak lagi. Akhirnya kami menginjakkan di pekarangan rumah yang luas ini. Sebuah rumah megah berdiri gagah menghadap hamparan rumput, pohon-pohon, dan sebuah taman kecil di tengahnya. Rumah ini dibangun di atas tanah yang lebih tinggi sehingga, jika kita berdiri di teras, kita dapat memandang taman dan rerumputan tanpa penghalang. Keraguan muncul ketika kami mengetuk pintu utama rumah itu beberapa kali dan tidak ada yang membukakan pintu. Kami berinisiatif mengitari rumah dan memeriksa sisi kanan belakang rumah yang ternyata masih memiliki bangunan lain yang terpisah dengan rumah utama yang terletak memanjang memanjang seperi faviliun.  Singkat cerita, akhirnya kami diberi kesempatan untuk melakukan tur mengelilingi rumah itu yang kami mulai dari bagian belakang.
2013-01-03 21.46.17Bagian pertama yang langsung menarik perhatianku adalah sebuah kolam renang yang terletak di bagian belakang rumah. Meskipun kolam itu tidak terawat karena sudah tidak dipakai sekian lama, bentuk kolam itu tetap mencuri perhatian. Kolam ini dilengkapi dengan luncuran dan tangga untuk naik ke atas. Kolam itu berbentuk angka delapan yang belakangan kami ketahui memiliki makna khusus. Yang pertama angka delapan itu sesuai dengan jumlah anak Almarhum Kolonel Abundjani yang memang berjumlah delapan, dua putra dan enam putri. Makna lain yang kami peroleh adalah bentuk angka delapan tersebut dapat juga melambangkan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan Republik Indonesia.
mobil Di bagian belakang bangunan berbentuk faviliun, aku menemukan sebuah garasi dengan sebuah mobil jenis sedan bertengger di dalamnya. Meskipun terlihat jelas bahwa mobil ini sudah tua, aku masih bisa membayangkan mobil ini pasti termasuk dalam golongan mobil mewah pada masanya. Tidak banyak informasi yang aku peroleh, tapi menurut anggota keluarga almarhum Abundjani, mobil ini mobil langka yang hanya diproduksi tiga unit. Salah satunya adalah yang dimiliki oleh Almarhum Abundjani ini.


 

tampakataslg Kemudian aku naik ke atas atap garasi yang melalui sebuah tangga beton yang sangat kokoh meskipun tangga ini sudah dibangun setelah sekian lama. Kekagumanku adalah bagian atap garasi itu terbuat dari beton kuat, datar, luas, dipagari dengar pagar tembok setinggi kira-kira satu meter dan terhubung dengan bagian lantai dua atas faviliun, terus sampai ke lantai dua rumah utama. Bahkan menurut cerita keturunan Abundjani, bagian lantai dua rumah utama digunakan sebagai landasan helikopter dulunya. Aku dapat membayangkan alangkah nikmatnya duduk-duduk di lantai ini, bercengkerama sambil menikmati secangkir teh atau kopi panas di bawah malam bercahayakan sinar bulan.  Alangkah romantisnya sang pemilik rumah ini.
lantaiSetelah puas menikmati luas dan uniknya bagian belakang rumah ini, aku dan temanku berkesempatan untuk masuk ke dalam rumah utama. Kali ini lain lagi keindahan-keindahan gratis yang kami dapati. Bagian pertama yang langsung aku dekati adalah lantai rumah yang dari jauh terlihat seperti hamparan karpet dengan pola motif berbeda. Ketika didekati ternyata itu lantai keras yang didesain sedemikian rupa dengan warna berbeda sehingga terlihat seperti karpet. Lantai di setiap ruas ruang memilki motif dengan perpaduan warna berbeda. Aku juga melihat beberapa meja dengan koleksi foto-foto lama di antaranya adalah foto Kolonel Abundjani dengan, Soekarno, Muhammad Hatta, Soeharto dan lain-lain. Aku sempat bergumam dalam hati foto-foto itu pasti akan mampu bercerita banyak tentang perjuangan bangsa Indonesia dulu.
lukisan ruang depanBagian lain yang membuatku tidak berhenti berdecak kagum adalah bagian dinding rumah yang kalau boleh aku sebut relief indah tak terkira. Hampir di setiap ruas dinding terpahat relief-relief dengan berbagai macam bentuk gambar dengan warna-warna indah, mulai dari pahatan beberapa wanita, sepasang pria dan wanita, sekumpulan rusa, sekumpulan angsa, seekor harimau, hingga pahatan sayur mayur dan buah-buahan yang khusus dipahat di dinding ruang makan.
relief ruangtamu2lukisan ruang depan lg
Aku bukan seorang ahli seni pahat. Tapi aku yakin sekali bahwa pencipta relief-relief ini sungguh luar biasa hebat. Seluruh pahatan dibuat sangat detail sehingga jika dilihat dari kejauhan, relief-relief itu kelihatan seperti lukisan. Aku tak bosan-bosan meraba semua relief yang ada untuk memastikan bahwa mataku tidak sedang ditipu. Hasilnya aku memang bisa  merasakan kulit buah nenas yang kasar atau setangkai anggur yang terjuntai atau kain relief wanita yang berpakaian tradisonal dari Minang . Informasi yang aku peroleh dari keturunan almarhum Abundjani jumlah relief yang ada di seluruh dinding rumah ini adalah empat puluh lima yang menandakan tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tak mampu aku bayangkan puluhan tahun yang lalu seorang Abundjani telah terpikir untuk menikmati seni indah ini dengan mengabadikannya di dinding rumahnya. Kolam renang yang berbentuk angka delapan, relief yang berjumlah emat puluh lima, dan terakhir aku diberitahu bahwa jumlah kamar di rumah ini adalah tujuh belas, Perlambangan hari kemerdekaan Republik Indonesia dari seorang Abundjani yang sangat nasioanalis.
$jendela utamaMelintasi setiap ruangan, aku harus behenti menikmati  keindahan setiap jendela dan pintu rumah yang dipasang jeruji besi bermotif gadis-gadis berpakaian tradisional Minang sedang menari tari lilin yang melegenda itu. Pekerjaan merancang besi-besi jeruji  menjadi bentuk unik di seluruh pintu dan jendela pastilah bukan suatu kegiatan mudah. Agak susah aku membayangkan tingkat kerumitan para ahli yang membuatnya dulu, masa yang tidak secanggih sekarang. Aku juga bertanya-tanya mengapa almarhum mendesain jeruji-jeruji itu dengan bentuk gadis Minang menari. Abundjani adalah Putra Jambi yang lahir di Jambi yaitu itu di Batang Asai. Mungkin alasan sederhananya adalah  beliau memang cinta dengan budaya indonesia nan kaya.
lemariradioLelah aku menahan gempuran pikiranku yang tak henti-hentinya melemparkan pertanyaan-pertanyaan tak berujung. Banyak perabotan yang menurut mata kasarku bisa dikategorikan antik masih terpajang dengan rapi di rumah itu. Aku menemukan beberapa lemari terbuat dari jati kokoh yang masih terlihat baru dan bagus. Di samping tangga untuk naik ke lantai dua, aku sempat terkesiap melihat piano kayu dan radio kuno sebesar mesin cuci  terpajang rapi. Aku yakin pemilik rumah ini pecinta seni sejati.
bawah tanah lgKeunikan lain dari rumah almarhum Kolonel Abundjani ini adalah 3 ruangan bawah tanah yang terletak di bawah garasi dan rumah utama. Aku tidak tahu pasti tujuan dibangunnya bunker-bunker ini. Aku berasumsi mungkin ruangan ini dulu digunakan sebagai tempat persembunyian jika sewaktu-waktu pecah perang. Yang jelas saat ini ruangan-ruangan itu digunakan sebagai tempat penyimpanan.
Terlalu banyak keindahan-keindahan yang aku temukan di rumah ini dan aku takkan sanggup menceritakan semuanya di sini. Satu hal yang pasti adalah, aku yang awam merasa alangkah sayangnya jika rumah ini harus dihancurkan. Ada begitu banyak nilai sejarah dan seni yang mampu memberikan kita pembelajaran tiada tara. Cerita bagaimana seorang Abundjani memimpin memimpin dan mengatur strategi perang melawan Belanda pasca kemerdekaan dan bagaimana seorang Abundjani menajadi seorang pengusaha sukses di Jambi bahkan di asia dapat menginsinspirasi kita sebagai generasi muda yang terlahir beruntung di sebuah alam merdeka. Semoga mereka yang berwenang terketuk pintu hatinya menyelamatkan aset bangsa ini,  amin.








06 January, 2013

One Great Class



Muarojambi Temple
Muarojambi TempleI live in a small city called Jambi, located in Jambi Province,  Sumatera, Indonesia. Jambi is a less traveled and visited province in my opinion because there are not many tourist objects that can be explored here. Despite all those facts, I confidently say that Jambi is still a safe and good place to visit or  to live in. There is not much traffic jam and people from different races and religions can live in harmony. There are some interesting spots that can be explored in Jambi. We have the longest beautiful river in Sumatera called Batanghari river, cutting Jambi city into two. We also have Muarojambi temple Complex which is categorized as one of the largest Temple Areas in Southeast Asia and is being processed to be one the world heritage by UNICEF. Another  interesting thing is that you can enjoy in Jambi is the amazing varieties of Jambi traditional food that can be found in luxurious restaurants, small cafes along the Batanghari river bank or small vendors along the streets in the city which offer amazing kinds of food and healthy herbal drinks to warm up your body in the evening.

Batanghari RiverIn the first part of my writing, I share some stories about Jambi city, but actually I want to share more about my one special kind of class.  I live in an area where I can still meet some children who must work hard to survive. They generally go to school in the morning and finish their school activities at 1 PM. After they arrive at home, they mostly do things to help their parents. Some will go to the rice field to deal with rice, vegetables, or and fruits. Some stronger boys will choose to join their fathers building houses. Some just stay at home spending their times for nothing. When they are asked why they should work to help their parents and why they don’t do things they like such as doing sports, having extra lessons in private courses or just hanging out with their friends, they give me the answer that I think I already know. They just don’t have much time and money to do them. There are other better things to do to support their parents to earn more money to be able to fulfill their daily needs called ‘food’. We all know that food is something that human beings like us need consistently in order to survive. This is the challenge that many families have in my area. They have to buy rice as their main food and other kinds of food. Their daily income is just not enough to buy all of them  sometimes. This is the main reason why they mostly work harder spending their time trying to get extra income to support their families.

an Outdoor Class with Some CouchSurfing FriendsOne challenging fact that I see from the children’s situation is that they are just able to finish their basic education, senior high school or even junior high school. They mostly cannot continue their study to the higher level because of the ‘cliché’ reason, no money. It is just too much for their parents, they need to focus more on how to provide food to survive. For me, this phenomenon is not good. If they are not able to continue their study to the higher level, they will not have many options to get proper jobs with proper payment after they graduate. In my place, getting proper jobs is not an easy thing. Education is still something that many employers consider a lot. They may still get a job of course, but their jobs may not be able to give them a life that they want, which is to be able to live better economically. In other words, they will mostly end up living in the same condition as their father and mother. This is what generally happens here in my surroundings.

a Friend teaching some students One simple thing that I and some good friends of mine can do for these children is motivating them to learn English in a special class in my house. I and friends coming from different educational background, establish an informal English class where all the children coming from different ages can study and practice their English together. They don’t pay anything to join this class.  So far we have about 25 children who come to study twice a week every Tuesday and Friday Evening. Why English? because it is important for them. They may have learned English in school, but the fact says that in my place, even though English is taught in schools, students are still not able to use English as it should be, which is to speak English or to write in English. It happens in many schools in Indonesia. We simply hope that by helping them to know more about English, they can improve their self-quality that maybe useful for their future. Beside English, we also discuss many simple things with the children. We can talk about the importance of keeping their house environment clean, the danger of drugs, the positive use of internet. To support us, We also invite couchsurfing friends from many countries who are interested to teach them to be guest teachers. The children will love it if they meet with new teachers in the class. So, if you happen to be in Jambi and you are interested to teach or share experiences with the class, feel free to contact us. They will love it.  One simple thing can be meaningful for other people who may need it. LT