Translate

30 July, 2009

Kucing

Kehidupan Fauzan yang memang sangat sederhana. Ayahnya adalah tenaga honor yang bekerja sebagai pelayan sekolah. Janji kepala sekolah yang akan membantunya agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri diucapkan 15 tahun yang lalu, bahkan sebelum fauzan dan adiknya Dewi lahir. Namun kenyataannya hingga kini Ayah Fauzan tetap menjadi tenaga honor hingga fauzan masuk SMP tahun ini. Ibu Fauzan yang tidak bekerja hanya sesekali menerima upah jahitan dari tetangga. TIdak banyak jahitan yang bisa diterima karena kondisi mesin jahit ibu Fauzan lebih sering rusaknya dari pada baiknya. Maklumlah, mesin itupun sebenarnya peninggalan dari nenek ibu Fauzan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda. Terkadang Fauzan merasa kalau kalimat bijak yang menyatakan bahwa 'hidup itu seperti roda berputar, kadang di atas, kadang dibawah' kurang tepat baginya dan keluarganya. Dia merasa kalau hidupnya adalah roda yang berjalan di atas jalan yang sangat licin. Karena jalan terlalu licin, rodanya jarang berputar, sehingga bagian bawah tetap di bawah dan tidak berputar ke atas. Meski demikian, kehidupan keluarga Fauzan berjalan bahagia. Memang karena kebahagiaan itu relatif sifatnya, jadi merekapun merasa bahagia dengan apa yang mereka miliki.

Setiap hari Fauzan dan Dewi menumpang ayah mereka yang membonceng sepeda motor butut bantuan dari sekolah untuk pergi ke sekolah mereka masing-masing. Fauzan diantar terlebih dahulu karena Dewi bersekolah di SD tempat ayah mereka bekerja. Fauzan mempunyai seorang teman wanita yang sangat baik kepadanya. Namanya Pipit. Pipit adalah gadis manis putri seorang juragan semen. Persahabatan mereka dimulai saat mereka harus duduk sebangku awal pertama masuk SMP. Walaupun Pipit adalah anak orang berada dan pintar, dia tidak sungkan-sungkan untuk berteman dengan Fauzan. Walau mereka baru sebulan berteman, tapi mereka sangat akrab.

Suatu hari Pipit mengundang Fauzan untuk makan malam bersama keluarganya di restoran mahal. Awalnya Fauzan menolak undangan tersebut karena merasa sungkan. Tapi Pipit setengah memaksanya dan bilang kalau papa dan mamanya ingin sekali bertemu dengan Fauzan. Akhirnya Fauzanpun menyetujuinya. Sesampai dirumah, Fauzan langsung bercerita kepada ibunya tentang undangan tersebut. Ibunya langsung menyiapkan pakaian terbaik yang Fauzan punya, sebuah kemeja kotak-kotak coklat dan celana panjang hitam yang dibeli sebelum lebaran dua tahun lalu. Lebaran tahun ini Fauzan tidak beli baju baru.

Pukul setengah tujuh petang Fauzan telah bersiap di depan teras rumahnya. Pakainnya rapi, rambutnya licin mengkilat terkena cahaya lampu. Akhirnya sebuah mobil jenis sedan berhenti di depan rumahnya. Fauzanpun naik ke sedan itu. Tidak banyak percakapan yang terjadi antara Fauzan dan keluarga Pipit di sedan karena restoran yang dituju tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Tibalah mereka di sebuah restoran mewah yang dihiasi dengan lampu-lampu berwarna-warni. Seorang pelayan mengantar Fauzan dan Pipit sekeluarga ke meja yang telah dipesan sebelumnya. Fauzan duduk berdampingan dengan Pipit yang tampak cantik malam itu, berhadapan dengan papa dan mama Pipit. Berbagai macam makananpun mengalir tak henti. Fauzan merasa perutnya mau meledak karena kekenyangan, tapi papa dan mamam Pipit selalu memaksanya untuk tambah dan tambah lagi. Fauzan merasa sangat heran, baik Pipit, papa, dan mamanya hanya makan sedikit sekali. Ikan bakar dan ayam panggang yang dipesan nyaris tidak mereka sentuh. Banyak sekali makanan yang tersisa di meja mereka.

Memang Fauzan anak yang baik, setelah semua berhenti makan karena kekenyangan, Fauzan teringat dengan Dewi, ayah, dan ibunya dirumah. Fauzan pikir alangkah senangnya mereka jika dia membawa makanan-makanan yang jarang mereka makan ini ke rumah. Tapi Fauzan terlalu malu untuk jujur ke keluarga Pipit. Akhirnya akal jitu muncul di pikiran Fauzan. Dia membisikkan sesuatu kepada Pipit dan Pipitpun mengangguk senang. Setelah itu Pipit langsung bicara kepada papa dan mamanya. Pipit bilang kalau Fauzan minta ijin untuk membawa pulang makanan-makan di meja untuk diberikan kepada dua ekor kucing yang dipelihara Fauzan. Orangtua Pipit langsung menggangguk memberi ijin. Papa Pipitpun langsung memanggil seorang pelayan restoran untuk membungkus semua sisa makanan yang mereka pesan dan juga meminta pelayan tersebut untuk menambahnya dengan sisa-sisa makanan lain yang ada di restoran itu. Fauzan merasa mukanya menjadi panas, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak lama kemudian, pelayan restoran itu muncul kembali dengan satu kantong plastik besar sisa-sisa makanan yang ada di restoran itu yang digabung menjadi satu dan diberikan kepada Fauzan. Fauzan merasa ingin segera sampai di rumah.

21 July, 2009

Saya Bisa Naik Kereta





Mungkin bagi kita yang diberi penglihatan sempurna, tidak ada yang istimewa dengan jalur khusus ini. Jalur ini sengaja dibuat berbeda dengan permukaaan yang lebih menonjol dan kasar dibandingkan dengan lantai pada umumnya. Yang jelas, jika kita menginjak jalur ini, kita bisa merasakan permukaannya yang kasar dan berbeda dengan lantai pada umumny. Jalur ini sederhana saja buat kita tapi bagi mereka yang hanya ditemani kegelapan sepanjang hidupnya, jalur ini menjadi begitu berarti untuk membantu mereka agar tetap bisa menikmati fasilitas umum, untuk naik turun tangga, membeli tiket kereta dan naik kereta tanpa harus tergantung orang lain. Mereka jadi bisa mandiri. Jalur khusus ini tidak hanya ditemui di stasiun kereta api, tapi juga di tempat-tempat umum lain. Selalu merasa senang melihatnya.

04 July, 2009

Mimpi-Mimpi Ketenu 2

Hari ini aku bertemu Ketenu. Dia sedang menjemur pakaian di belakang rumah yang berpanggung lebar dikelilingi hamparan kolam kangkung. Tidak seperti biasanya dia hanya memandangku sekilas dan memanggilku ala kadarnya. Akupun tidak ingin tahu lebih jauh dan sibuk membaca koran yang penuh dengan iklan kampanye pemilihan presiden, hingga aku bingung berita apa yang bisa aku baca hari ini. Ketenu akhirnya selesai dengan tugasnya menjemur pakaian. Dia tetap diam dan pipinya yang seperti mau 'tumpah' semakin bulat karena dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan tegas seperti orang yang sedang berusaha menahan rasa sakit atau takut.
Akhirnya dia menawarkanku segelas teh dengan setengah terpaksa. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku, kutanya dia hati-hati. Kutanya mengapa dia seperti orang yang sedang khawatir dan bingung. Awalnya dia bilang tidak ada apa-apa. Akupun tidak memaksa. Tapi tidak lama setelah menghidangkan teh manis untukku tiba-tiba tangisnya pecah. Dia menangis sambil mulai mencuci piring sambil sesekali menyeka matanya dengan celemeknya yang aku yakin awalnya berwarna putih tapi sudah berubah menjadi abu-abu. Bingung tapi geli juga melihat pemandangan itu. Pelan-pelan sambil tersedu dia mulai bercerita. Dia bilang beberapa hari yang lalu dia berkenalan dengan seorang laki-laki lewat handphone. Awalnya dia iseng menekan nomor telepon kemudian dia menghubungi nomor tersebut. Sebelum diangkat Ketenu tutup telepon itu. Aku langsung menyela, kok dia bisa-bisanya melakukan itu, dengan entengnya dia menjawab, iseng-iseng berhadiah. Aku tidak terlalu mengerti tapi tetap menganggukkan kepala agar dia segera melanjutkan ceritanya. Akhirnya orang yang dia telepon itu meneleponnya kembali.
Mulai saat itu si laki-laki suka menghubungi Ketenu baik menelepon atau lewat pesan. Ketika aku bertanya mengapa Ketenu meladeni laki-laki tersebut lagi-lagi dia memberi jawaban polos yang membuatku sedikit kesal, dia hanya bilang "Suaranya bagus, kayaknya orangnya ganteng, Bang, dia juga bilang suaraku merdu sekali kalau ditelepon, pasti aku cantik, gitu Bang". Aku jadi ingin minum dua gelas teh lagi mendengarnya. Lalu aku balas, "kalau demikian apa masalahnya, kan kalian sama-sama ganteng dan cantik." Sontak pipi Ketenu kembali mau 'tumpah'. "Abang menghina saya ya? mentang-mentang saya jelek." "Bukan begitu, lantas apa masalahnya? kan kalian sama-sama tertarik, ya nggak apa-apa," jawabku. Ketenu mulai menangis lagi dan dengan terisak-isak dia bilang, "Dia sudah punya istri Bang, anaknya sudah tiga, dia tinggal di kampung, dia di sini kerja jadi sopir truk, saya nggak mau mengganggu keluarga orang." Baru aku mengerti masalahnya, tapi tetap saja aku tidak terlalu mengerti mengapa Ketenu begitu khawatir. "Ya kalau begitu kamu tinggal memberitahu laki-laki itu baik-baik kalau kamu tidak mau diganggu lagi dan kamu tidak mau merusak rumahtangganya," nasehatku. Tangisnya semakin nyaring, "Masalahnya saya sudah memberitahu alamat rumah Bapak di sini Bang, tadi malam dia sudah datang, tapi pagar saya kunci dan tidak saya buka, untungnya bapak sama ibu sedang tidak ada di rumah, saya lihat dari balik jendela orangnya seram Bang, tinggi besar berewokan, dan nanti malam dia bilang mau kesini lagi, matilah saya Bang, bagaimana kalau sampai bapak tahu, saya bisa dipecat,"Ketenu mulai menangis histeris sambil menutup mukanya dengan celemeknya. Aku pelan-pelan menaruh gelas tehku ke atas meja siap-siap untuk kabur karena aku bingung harus bilang apa lagi. Aku sempat terpikir untuk membantu Ketenu dengan menjelaskn ke pada laki-laki itu nanti malam. Tapi mengingat ciri-ciri fisik yang digambarkan oleh Ketenu secepat mungkin aku menghapus ideku yang sangat mengerikan itu. Akhirnya aku menyarankan Ketenu untuk bicara jujur kepada majikannya agar majikannya bisa langsung bicara dengan laki-laki tersebut. Awalnya Ketenu ragu dengan saranku itu, tapi akhirnya dia setuju juga karena dia sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
Singkat cerita, laki-laki yang mencari Ketenu itupun datang ke rumah majikan Ketenu dan majikan Ketenu mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Lak-laki itu akhirnya pamit pulang dan berjanji tidak akan menggangu Ketenu lagi. Kami yang mencuri dengar dari kamar Ketenu dapat bernafas dengan lega.
Keesokan harinya aku kembali mampir ke rumah temanku itu dan seperti biasa aku menyempatkan diriku melongok ke dapur dan menyapa Ketenu yang sedang bersenandung dangdut dengan girangnya. Karena penasaran akupun bertanya padanya kenapa dia begitu gembira. Dengan polos dan gembiranya dia menjawab. "Bang, Tenu baru kenalan sama cowok lewat telepon Bang, suaranya bagus bang, kayak suara abang," Ketenu menutup kalimatnya dengan tawa cekikikan. Tanpa sadar aku membiarkan mulutku ternganga untuk beberapa menit setelah itu. (LT)

Willemsweg, 28-5, Nijmegen 6531 DL, Netherlands

dan malampun menjemput pagi


mimpi panjang hampir usai

ku pandangi setiap sudut

memang harus pergi
sekian lama menemani

mengerti semua duka

tersenyum di kala suka

simpan saja ceritaku

kabarkan kepada yang akan datang

bahwa semua adalah anugerah

terima kasih untuk semuanya sayang..

( 00'31AM, 4th of July, 2009, the last night 

in Nijmegen)

 

 

03 July, 2009

perahu kecil hampir tiba di tepi

teriakan ombak terdengar sayup tak sabar bertemu

letih dan lelah berlayar sebentar tak lama lagi usai