Translate

16 November, 2012

Curhat si Lampu Merah Gokil 1

Pertama-tama, ijinkan aku memperkenalkan diriku yang ganteng ini. Orang suka menyebutku lampu merah. Aku kurang suka dengan sebutan itu karena selain merah, aku juga berwarna hijau dan kuning. Inilah keanehan pertama yang aku temukan dari mahluk yang namanya manusia. Terkadang mereka ingin semua gampang dan cepat. Sebenarnya nama lengkapku adalah lampu lalu lintas, memang tidak lebih keren dari lampu merah, tapi itu lebih mewakili diriku. Kalau boleh jujur, aku kepengen dipanggil dengan nama yang lebih keren kayak Robert atau Michael atau yang lainnya. Tapi aku pesimis, mana ada manusia baik yang sudi memberiku nama sebagus itu.

Aku memang tidak bisa kemana-mana. Aku hanya bisa nongkrong di sudut lampu merah Pasar Kasang bersama beberapa temanku yang berdiri di sudut lain. Pasar Kasang adalah pasar tradisional yang tidak terlalu ramai. Pasar ini lebih kecil dibandingkan dengan pasar Angsoduo yang lebih besar dan menjual barang lebih murah. Aku mendengar fakta ini dari percakapan dua ibu-ibu yang suatu hari berdiri di sampingku menunggu angkutan umum.  Aku berdiri di sisi jalan utama yang lebih luas dibandingkan teman-temanku. Jalan ini dibagi dua sehingga kendaraan yang berlalu lalang tidak akan bertabrakan kecuali ada pengendara yang mabuk dan tidak sadar melewati pembatas tengah jalan yang setinggi mata kaki orang dewasa. Teman-temanku lebih tidak beruntung dari pada aku. Temanku yang berdiri di sisi jalan menuju daerah Talangsari selalu memasang muka masam. Jalan ini cukup kecil sehingga kalau ada truk yang berhenti saat temanku menyalakan lampu merah, kendaraan roda empat lain yang bisa langsung karena belok kiri tidak akan bisa lewat dan membuat kemacetan kecil.

Sebenarnya, sebagai benda mati ciptaan manusia, aku tidak punya kodrat untuk mengeluh apa lagi marah dengan penciptaku. Tapi aku sudah tidak tahan lagi. Begitu banyak hal yang membuat aku bingung dan bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan manusia menciptakanku? Apakah hanya sekedar penghias jalan biar berkesan kalau jalan itu kelihatan bagus karena aku dan teman-temanku yang selalu berganti warna dalam tempo waktu tertentu? Atau karena manusia berharap agar mereka mematuhi  peraturan yang mereka buat melalui kami? Agak bingung aku dengan pertanyaanku yang terakhir ini. Tapi begitulah yang aku rasakan, aku memang bingung.

Aku sangat mahfum bahwa fungsi utamaku diciptakan manusia adalah membantu mereka terhindar dari tabrakan di persimpangan. Coba bayangkan jika ada empat kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi dari empat arah yang berbeda di saat yang bersamaan, apa yang terjadi? Dengan adanya aku dan teman-temanku, tabrakan bisa dihindari. Di saat ketiga temanku menyalakan lampu merah mereka agar para pengendara di jalan mereka behenti, aku menyalakan lampu hijauku mempersilahkan pengendara di jalanku untuk melaju. Jika malam tiba, kami bersama-sama menyalakan lampu kuning kami agar pengendara berhati-hati. Kurang baik apa coba? Walau kena panas dan hujan sepanjang tahun, aku tetap menjalankan tugasku dengan baik dan ikhlas (mudah-mudahan mahluk seperti aku boleh menggunakan kata terakhir ini). Kami sadar bahwa itulah tujuan penciptaan kami.

Tapi, sudah sedemikian baiknya aku dan teman-temanku, masih saja banyak manusia yang tidak memperdulikan keberadaaan kami. Di persimpangan di tempat aku dipancang, hampir semua tidak peduli dengan warna lampu yang aku nyalakan. Mau merah, mau hijau, atau kuning, hampir semua pengendara tetap melaju dengan rasa tidak berdosa. Hebatnya lagi, di saat aku menyalakan lampu merahku, pengendara itu melirikpun tidak ke arahku. Tetap saja mereka meluncur dengan kecepatan tinggi menerobos jalan tanpa ada rasa takut atau bersalah.

Banyak kejadian aneh, lucu, dan mengerikan yang aku saksikan di persimpangan tempat aku ditugaskan. Suatu ketika, ada seorang ibu-ibu berbadan besar mengendarai sepeda motor bebeknya melaju di jalanku. Dalam hati aku tersenyum geli, ibu itu berbadan cukup besar sehingga aku hampir tidak bisa melihat motor bebek yang dikendarainya karena hampir tertutup dengan tubuhnya yang mengenakan baju daster putih bermotif kembang sepatu besar-besar berwarna merah. Aku sudah menyalakan lampu merahku, tapi ibu itu tidak menoleh sedikitpun ke arahku dan tetap melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Aku mau berteriak mengingatkan ibu itu untuk berhenti karena dari jalan sebelah kiri, temanku menyalakan lampu hijau dan kendaraan-kendaraan melaju dengan kencangnya seperti baru start balap motor dan mobil. Tapi aku diciptakan tidak dengan kemampuan untuk berbicara. Si ibu ini entah bodoh atau tidak bisa berpikir (apakah sama artinya?), melaju dengan tenangnya tanpa melihat begitu banyak kendaraan yang meluncur dari arah kiri. Akhirnya yang aku takutkanpun terjadi. Sebuah angkutan umum berwarna kuningpun menghantam sisi kiri si ibu yang langsung terjatuh ke kanan persis di tengah jalan. Ibu itu mendarat di jalan dengan posisi menghimpit motornya. Sontak suasana persimpangan berubah kacau karena semua kendaraan berhenti terhalang angkutan umum, si ibu, dan motornya yang memenuhi jalan. Sang sopir angkutan umum segera keluar menghampiri si ibu yang sedang meringis kesakitan di atas motornya dan meluncurlahlah kata-kata makian indah dari bibirnya yang bergincu oranye: “Hei! Monyet! Dimana kau simpan matamu? Di pantatmu ya? Badanku sebesar ini tidak bisa kau lihat?”. Si sopirpun menjawab: “Lho? Justru ibu yang tidak melihat pakai mata, jelas-jelas lampu lagi merah, ibu main terobos aja”, si sopir tidak mau disalahkan. Aku mendukung si sopir walau sebenarnya aku tidak suka dengan sopir angkutan umum karena kalau didata, merekalah yang paling tidak peduli dengan keberadaan lampu merah, mereka menerobos lampu merah sesukanya demi mendapatkan seorang penumpang yang belum tentu juga mau naik ke mobil mereka. Si ibu tadi masih berusaha membela diri: “Memangnya selama ini di persimpangan ini orang-orang pada peduli dengan lampu merah? Mau merah kek, hijau kek, hitam kek, tetap saja kita semua bisa melaju, asal tahu sama tahu saja, biar jangan saling tabrakan”. Sampai disitu hatiku merasa panas.  Ternyata memang keberadaanku tidak pernah dianggap selama ini. Dengan gamblangnya si ibu itu mengatakan kalau aku tidak ada fungsinya sama sekali dan dengan seenaknya dia bilang aku punya lampu berwarna hitam. Hilang rasa kasihanku terhadap ibu itu, hatiku terlanjur sakit dibuatnya.  BERSAMBUNG (LT)