Suatu siang matahari seolah-olah mau membakar rambutku yang mulai tipis. Akhirnya aku tiba di rumah susun yang sudah empat tahun ini aku tinggalkan. Aku bekerja di Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga, suamiku hanya seorang pelukis yang lukisannya hanya pernah dibeli sekali. Tapi dia tidak pernah berhenti melukis. Tapi aku tidak peduli, aku tetap mencintai dia. Dia tidak tahu aku pulang hari ini, aku ingin memberikan kejutan. Sebenarnya kontrak kerjaku berakhir tahun depan. Tapi aku tidak tahan lagi kerja lama-lama disana, aku kabur saja. Aku harus menggugurkan kandunganku dua kali karena majikanku seperti kucing lapar melihat ikan segar setiap melihatku. Mungkin kedengarannya gampang sekali aku bercerita tentang gugur mengugur ini, tapi bagiku dan teman-temanku yang lain hal itu sudah biasa. Bahkan ada temanku yang empat kali menggugurkan kandungannya. Ah sudahlah, aku akan tutup rahasia ini rapat-rapat dari suamiku. Yang penting aku sudah pulang dan ingin memulai hidup di negaraku saja. Walau harus bekerja keras dan hidup sederhana, aku bisa selalu bersama dengan suamiku tercinta.
Tidak ada yang berubah dengan kondisi rumah susun ini, masih dengan cat warna abu-abu yang membuat rumah susun ini seperti baru saja dihajar oleh awan panas gunung Semeru yang tiba tiba hobi meletus. Aku seret koperku yang hanya punya satu roda, satu roda lagi lepas tersangkut di pintu kereta. Akhirnya aku masuk ke satu satu lift yang ada di rumah susun ini. Aku dan suamiku tinggal dilantai 16. Lega sekali berada di lift ini sendiri sambil membayangkan tidak lama lagi aku bertemu dengan suamiku yang pasti bertambah tua. Baru saja pintu lift bergerak menutup, tiba- tiba ada seorang perempuan berteriak, “Maaf, tolong tunggu saya!” Kutekan tombol pembuka agar dia masih sempat masuk. Seorang perempuan berbadan besar, setengah baya masuk ke dalam lift. Lipstiknya berwarna merah darah dipoles sampai ke bawah dan atas bibir. Kacamata hitam bertengger di rambutnya yang keriting, Baju dan celananya berwarna kuning ketat dengan tas pinggang hitam melingkari pinggangnya yang bisa jadi tiga kali ukuran pinggangku. Dia menyeret satu bungkusan besar yang membuat aku penasaran ingin tahu apa isinya. “Makasih ya Dik.” katanya. Aku hanya menjawab dengan senyuman masam. “Tunggu ya Dik, barang saya masih ada di luar,” teriaknya setelah meletakkan bungkusan pertama di lantai lift dan kembali tergopoh-gopoh keluar. Ingin rasanya aku tutup saja pintu lift ini tapi mau gimana lagi, lift ini bukan punyaku. Akhirnya setelah empat kali bolak balik, perempuan itu menutup pintu lift sambil menyeka keringatnya mengingatkanku dengan bau cuka masak yang telah lama tidak pernah tercium olehku. Kuangkat tas tanganku tinggi-tinggi karena tubuhku sudah tertimbun dengan bungkusan-bungkusan wanita itu yang entah apa isinya. Rasanya kakiku terhimpit salah satu bungkusannya, aku sudah tidak bisa bergerak lagi karena lift kecil ini sudah penuh sesak dengan bungkusan-bungksan itu dan tubuh pemiliknya. Sebelum dia mengeluarkan kaca dan lipstiknya dia sempat menekan tombol lantai 16 yang sudah aku tekan sebelumnya. Dalam hati aku berdoa, semoga dia tidak tinggal bersebelahan atau berhadapan dengan tempat tinggal kami.
Akhirnya kami tiba di lantai 16 dan pintu lift pun terbuka. Kamarku persis berada di depan lift. Kegembiraanku kembali membuncah membayangkan betapa senangnya suamiku melihat kedatanganku. Tidak aku pedulikan lagi kekesalanku dengan si menor yang bukannya mulai mengeluarkan bungkusan-bungkusannya tapi malah berusaha berteriak nyaring dengan suara cempreng yang mirip suara angsa. ”Sayang, bantuin dong, berat nih, mama baru saja mengambil barang kreditan untuk dijual besok, buruan sayang.” Aku masih terkurung di lift karena bungkusan bungkusan itu belum dikeluarkan, tapi tidak apa-apalah, aku tunggu saja sambil menikmati debaran jantungku yang berdegup lebih kencang. Aku mendengar suara sendal diseret tergopoh-gopoh menuju ke arah kami dan si perempuan langsung berseru manja, “Buruan sayang, mama capek banget nih, sampai harus nyewa angkot bawa barang segini banyak.” Dari sela-sela bungkusan aku melihat suamiku yang sudah beruban mendekati pintu lift, memberikan kecupan ke kening perempuan lalu menuju pintu lift sembari berkata, “Iya Ma, papa lagi nyelesain lukisan mama yang mama minta, cantik deh Ma, kok banyak banget Ma bungkusannya.” Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, keburu rebah di bungkusan-bungkusan yang ada di depanku. LT
No comments:
Post a Comment