Translate

05 December, 2012

Timur atau Barat? Episode 1

Waktu aku duduk di bangku sekolah, seringkali guru-guruku mengulang-ngulang frasa 'budaya timur. Guru-guruku selalu bilang bahwa Indonesia negaraku adalah salah satu negara yang terkenal dengan adat ketimurannya yang cukup dikenal di dunia. Pemahamanku adalah budaya merupakan cara hidup sekelompok manusia yang selalu berkembang dari waktu ke waktu dan diikuti oleh orang-orang yang berada dalam kelompok tersebut. Namun seiring berjalannya waktu dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan, pergeseran nilai-nilai budaya yang ada dalam sebuah kelompok tertentu tidak dapat dihindari. Hal ini terkadang menimbulkan benturan di dalam kelompok masyarakat tersebut. Benturan yang sangat mungkin terjadi adalah ketika segelintir orang dalam kelompok masyarakat tertentu merasa nilai-nilai budaya yang selama ini mereka agung-agungkan dan mereka anggap benar tidak lagi dipraktekkan atau digunakan oleh segelintir orang yang berasal dari kelompok yang sama. Pertanyaannya adalah, apakah mereka yang selalu patuh dengan nilai budaya mereka berhak untuk menghakimi mereka yang mengabaikan nilai budaya tersebut?

Aku tidak akan memperdebatkan masalah yang aku kemukakan di atas. Aku hanya ingin sedikit membuka sebuah wacana yang aku anggap sederhana tapi menarik dan terabaikan olehku. Aku terbiasa didengung-dengungkan dengan konsep budaya timur yang agung, baik dan patut dibanggakan. Beberapa bentuk adat ketimuran yang aku tahu adalah, toleransi kepada orang lain terutama orang yang kekurangan seperti cacat fisik, atau orang yang lebih tua dari kita. Kemudian kebiasaan gotong royong melakukan suatu kegiatan bersama-sama. Jujur saja aku merasa bangga dengan budaya timur seperti yang aku sebutkan di atas. Alangkah indahnya ketika kita bisa menolong atau bertenggang rasa dengan orang yang memiliki keterbatasan atau butuh pertolongan kita. Selain itu, bukankah itu juga dianjurkan oleh agama-agama yang ada di muka bumi ini?

          Namun ketika aku berkesempatan untuk hidup singkat di sebuah negara di Eropa yaitu Belanda yang pada awalnya aku cukup yakin aku tidak akan bisa menemukan orang-orang yang bergotong royong membersihkan jalan misalnya, atau orang-orang yang mendirikan tenda di rumah seseorang yang sedang memiliki hajatan atau ditimpa musibah, atau anak-anak yang mencium tangan orang tuanya ketika mau pergi ke sekolah, aku justru dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang mengguncang dan menampar hati dan mukaku. Beberapa kali dalam kekeluan lidahku aku berpikir mungkin aku sedang berada di negaraku beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu.

Pada suatu hari aku harus menuju kampusku tercinta Radboud Universiteit di Nijmegen dari Ede-Wageningen, kota tempat aku tinggal dua bulan terakhir sebelum aku balik ke Indonesia. Seperti biasa aku harus bertemu dengan pembimbing tesisku yang sama seperti orang lain di negara itu yang tidak suka menunggu dan selalu tepat waktu. Bis yang membawaku dari apartemen mahasiswa Bornsesteeg menuju stasiun Ede-Wageningen tiba tepat waktu. Setelah membeli tiket kereta, akupun bergegas menaiki tangga yang menghubungkan lantai dasar stasiun dengan tempat para penumpang menunggu dan menaiki kereta. Sudah ada beberapa orang yang menunggu di stasiun itu. Ada sepasang pria dan wanita berumur yang tengah menikmati hangatnya kopi di tengah musim gugur yang mulai menusuk tulang ini. Aku juga melihat seorang perempuan tua yang duduk di atas kursi roda sedang membaca koran berbahasa Belanda. Tiba-tiba dalam hati aku melemparkan pertanyaan kepada diriku sendiri, bagaimana caranya wanita ini naik ke kereta nanti? Setahu aku, posisi lantai kereta lebih tinggi alias tidak sejajar dengan lantai stasiun ini jadi tidak mungkin dia bisa menaiki kereta dengan kursi rodanya. Tapi aku hapus pertanyaan dalam benakku yang tidak penting itu. Stasiun ini terbagi dua jalur yang dilewati kereta-kereta dengan arah yang berlawanan. Aku pun memilih sisi yang akan dilewati oleh kereta yang akan membawaku ke kota Arnhem dan Nijmegen. Aku sempat celingak celinguk untuk mencari posisi yang nyaman untuk menunggu kereta sambil mendengarkan musik dari headset yang terhubung dengan telepon genggamku. Akhirnya aku memilih untuk berdiri di dekat tiang stasiun tidak jauh dari sekelompok anak muda yang kelihatannya adalah anak-anak Belanda yang baru pulang dari sekolah. Aku cukup yakin mereka orang Belanda dari bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan. Mereka mengobrol santai sambil sekali-sekali tertawa dan berteriak. Aku sedikit terganggu dengan mereka karena teriakan-teriakan mereka cukup membuatku tidak nyaman, tapi aku berusaha untuk tidak peduli dan mengeraskan volume musik teleponku.

Bunyi gemuruh suara kereta terdengar semakin jelas mengalahkan bunyi headsetku. Tak lama setelah itu muncullah si kuning panjang kereta kebanggaan Belanda dari arah Arnhem yang semakin perlahan mendekati stasiun dan akhirnya berhenti sama sekali. Kereta ini akan menuju Amsterdam jadi berhenti di jalur di belakangku yang berlawanan arah dengan jalur tujuanku. Timbul rasa penasaranku ingin melihat bagaimana si wanita dengan kursi roda yang mengusik pikiranku tadi naik ke kereta, aku membalikkan badanku persis ketika kereta benar-benar berhenti. Pintu-pintu kereta itu pun terbuka secara otomatis dan  tertulis atau tidak, penumpang yang turun dari kereta lebih dahulu turun sementara penumpang yang akan naik ke kereta menuggu dengan sabar. Aku melihat wanita di kursi roda tadi perlahan menggerakkan kursi rodanya mendekati pintu kereta terdekat yang kebetulan kosong karena tidak ada penumpang yang turun atau akan naik. Terlihat seorang petugas kereta yang turun dari pintu lain berjalan ke arah wanita itu. Hatiku kembali bergumam, si petugas itu cuma sendirian, tidak mungkin dia mampu mengangkat wanita dan kursi rodanya itu. Belum sempat aku menyelesaikan gumamanku, dari sudut mataku terlihat kelompok remaja Belanda yang sempat membuatku sedikit terganggu karena beberapa kali berteriak-teriak dan tertawa ngakak berjalan atau boleh dibilang setengah berlari menuju ke arah wanita berkursi roda yang akan naik ke kereta itu. Sambil terus bercanda dan ngobrol satu sama lain mereka saling berebutan mengangkat kursi roda dan wanita yang duduk di atasnya mendahului petugas kereta yang akhirnya hanya bediri di samping mereka. Setelah si wanita mendarat dengan selamat ke dalam kereta, remaja-remaja tadi kembali ke tempat mereka semula sambil terus mengobrol seru dan tertawa-tawa dan aku yakin tidak sedikitpun mereka membahas wanita dan kursi roda yang baru saja mereka angkat ke kereta tadi, seolah-olah mereka tidak melakukan sesuatu yang penting dan patut diperbincangkan.

Aku berusaha untuk tidak melihat ke arah mereka karena aku tidak mau mereka melihat mukaku yang rasanya baru saja kena terpaan awan panas alias wedus gembel dari gunung yang sedang meletus. Headsetku masih melantunkan lagu-lagu yang ada dalam telepon genggamku tapi aku tidak bisa lagi mencerna satupun kata-kata yang ada dalam nyanyian yang aku dengar. Sesaat aku merasa nuraniku menghakimiku lahir batin. Aku yang selama ini selalu merasa punya otak cukup cerdas hanya mampu berpikir bagaimana caranya si wanita dengan kursi roda itu naik ke kereta. Tapi ternyata hatiku tidak cukup cerdas untuk berpikir bahwa aku seharusnya bisa membantu mengangkat wanita itu. Mengapa sedikitpun aku tidak tergerak untuk membantu wanita itu? Apakah membantu orang lain yang memilki keterbatasan itu bukan bagian dari budayaku? Apakah secara individu aku memang tidak memilki kepekaan untuk membantu orang lain yang membutuhkan? Apakah karena aku sedang berada di sebuah negara yang awalnya aku anggap jauh dari nilai-nilai budaya tolong-menolong jadi aku merasa aku tidak perlu terlalu peduli dengan orang lain? atau apa memang sebenarnya aku memang tidak peduli? Semua pikiranku buyar ketika bunyi peluit kereta yang akan menuju Arnhem dan Nijmegen melengking mengagetkanku dan pintu-pintu keretapun tertutup. Entah kapan datangnya kereta ini tapi yang pasti aku ketinggalan kereta dan aku akan terlambat bertemu dengan profesor pembimbing tesisku karena harus menunggu kereta selanjutnya. Aku masih sempat melihat remaja-remaja Belanda tadi melanjutkan canda mereka lewat kaca jendela kereta yang bening.(LT)

No comments:

Post a Comment