Musim dingin di Nijmegen |
Awal musim dingin di Eropa adalah masa-masa penuh keluh kesah bagiku dan mungkin juga bagi kebanyakan orang-orang yang berasal dari negaraku. Tubuhku yang dokter bilang tidak terlalu kuat dan rentan terhadap perubahan cuaca, butuh waktu cukup lama untuk bisa beradaptasi dengan suhu dingin luar biasa yang bisa mencapai di bawah nol derajat Celcius. Selama hampir dua minggu, hidung dan mulutku mengeluarkan darah yang aku yakin penyebabnya adalah suhu dingin tersebut. Terkadang jika aku lupa membawa sarung tanganku ketika bersepeda menuju kampus, telapak tanganku akan mati rasa beberapa saat setibanya aku di kelas. Pernah sekali aku bereksperimen bodoh menaruh segelas air di luar jendela kamarku dan dalam waktu singkat air itupun membeku. Di saat-saat seperti itu, aku merasa beruntung dan beryukur aku berasal dari negaraku tercinta. Meskipun ada segudang atau mungkin dua gudang permasalahan yang kelihatannya tidak akan pernah bisa selesai, aku tetap bisa menikmati hangatnya sinar matahari yang terkadang sampai menggosongkan kulitku. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih sanggup menerima sengatan sinar matahari di negaraku dari pada harus menghadapi cuaca dingin ini. Jangan-jangan kalau aku diam di tempat terbuka beberapa jam aku benar-benar bisa membeku seperti es batu. Namun seiring berjalannya waktu, tubuhku pun semakin kuat dan kebal dengan udara dingin menusuk tulang. Bahkan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di luar tentu saja dengan pakaian dinginku yang berlapis-lapis seperti kue lapis dan tebal seperti tembok baja.
Salah satu kebiasaanku yang menurutku agak tidak lazim adalah menyusuri jalan-jalan di kotaku yang tidak aku kenal bermodalkan petunjuk arah dari Google Maps yang aku print. Tidak ada tujuan khusus dari kebiasaan itu. Aku hanya merasa senang dan puas menaklukkan ketakutanku yang terkadang berlebihan ketika tersesat di sebuah daerah yang tidak aku kenal. Keberhasilanku mengambil foto dan kembali ke apartemenku tanpa tersesat adalah suatu kebanggaan sederhana. Semua perburuanku itu aku lakukan dengan bersepeda tentu saja. Sepeda adalah transportasi utama di Belanda yang paling nyaman dan aman. Nyaman dan aman karena jalan-jalan di Belanda umumnya memiliki tiga jalur. Jalur utama untuk pengendara mobil, jalur kedua untuk pengendara sepeda, dan jalur ketiga untuk pejalan kaki. Aku sempat bertekad setibanya aku di Indonesia nanti, aku akan membeli sebuah sepeda dan aku akan bersepeda kemana-mana. Tapi tiba-tiba bayangan pengendara motor dan mobil di tempatku yang selalu seperti sedang ikut balap Formula 1 ditambah pedagang kali lima yang menggelar dagangannya sampai setengah badan jalan membuatku menempatkan niatku itu ke bagian paling bawah memoriku.
Apartemenku (Willemsweg) di musim panas |
Suatu sore di musim dingin, sekitar pukul lima sore namun matahari sudah masuk lagi ke peraduannya, aku mengeluarkan sepedaku dari lantah bawah tanah apartemenku. Kali ini aku akan melaksanakan ekspedisi kecilku menemukan sebuah jalan yang bernama Medanstraat. Aku tidak menemukan penjelasan mengapa kata 'medan' dijadikan sebagai nama jalan di sini. Tapi yang pasti, aku ingin menemukan jalan itu dan mengbadikannya dengan kamera sederhanaku untuk kutunjukkan kepada teman-temanku sepulangnya aku nanti. Aku tahu bersepeda di musim dingin menyusuri jalan-jalan tertutup salju tipis yang mulai mencair ditambah lagi lumut basah yang menghiasi bukan suatu kegiatan yang mudah. Permukaan jalan akan menjadi luar biasa licin sehingga kemungkinan ban sepedaku terpeleset dan tergelincir akan sangat mungkin terjadi. Tapi aku tetap melakukan misiku dengan janji aku akan sangat berhati-hati.
Jalan di Belanda yang memiliki jalur tersendiri untuk pengendara sepeda. |
Akhirnya, sampailah aku di Medanstraat yang ternyata berdekatan dengan Atcehstraat, Borneostraat, dan Sumaterastraat. Aku belum sempat mencari penjelasan mengapa nama-nama berbau Indonesia itu digunakan sebagai nama jalan, tapi secara umum kita pasti tahu kita punya hubungan sejarah yang sangat panjang dengan Belanda. Akupun memotret papan nama jalan itu beberapa kali. Aku sempat berpikir apakah mungkin di sini banyak orang Batak sehingga mereka menamai jalan ini Medanstraat? Bah, tidak mungkin pula aku gedor pintu rumah-rumah warga di sini satu persatu-satu untuk membuktikan dugaan bodohku itu. Aku segera memasukkan kameraku ke dalam saku jaketku, malam semakin dingin. Aku mulai mengayuh sepedaku untuk kembali ke apartemenku. Ketika aku harus melewati sebuah bundaran untuk berbelok ke arah kiri, aku berbelok terlalu tajam dan akhirnya, seperti suara nangka busuk, aku terjatuh mendarat ke jalan yang licin dan punggung bagian bawahku yang menghantam jalan terlebih dahulu menampung seluruh berat tubuhku dan sepedaku. Seumur hidupku, baru saat itulah aku mengalami sakit yang sangat luar biasa pada bagian bawah punggung. Aku yakin tulangku retak. Karena sakit luar biasa, aku sampai berteriak keras, aduh! berkali-kali, tidak dalam bahasa Inggris atau bahasa Belanda karena aku tidak sempat lagi memikirkan apa padanan kata 'aduh' yang tepat.
Borneostraat |
Atcehstraat dan Medanstraat |
No comments:
Post a Comment